Menara Merana
Perlahan
Menara menjejakkan kaki pada anak tangga yang menghubungkan lantai dasar dengan
lantai kedua di kampusnya. Tangan kanannya menanting tas, sedangkan tangan
kiriya membawa tumpukan kertas-kertas tugas yang belum sempat ia kerjakan.
Matanya berkunang-kunang. Jalannya sedikit terhuyung-huyung. Namun, ia
memaksakan juga kakinya terus menapaki satu persatu anak tangga. Dari kemarin
ia belum sempat makan. Ia merasakan tubuhnya sedikit gemetar.
Di
lantai dua, samar-samar ia menangkap bayangan Rindu yang sudah datang lebih
awal darinya.
“Hati-hati Ra. Hari ini kau terlihat
kurang sehat. Apa kamu belum sarapan?” Rindu langsung bertanya dan memegang
bahunya, karena hampir saja Menara terjatuh ke lantai.
Menara
hanya diam, mulutnya tiba-tiba saja menjadi kaku dan seperti malas diajak
terbuka. Ia langsung duduk di sebelah Rindu. Diletakannya kertas tugas-tugas
yang ia bawa sedari tadi di sebelah kanan tubuhnya.
![]() | |
image by google |
“Ra, are you okay ?” tanya Rindu untuk
kali keduanya. Menara masih diam. Seakan ia kehabisan kata-kata untuk
dikeluarkan dari mulut. Pandangannya kosong. Nafasnya tidak beraturan. Wajahnya
terlihat penuh dengan beban.
“Ini minumlah dulu” Rindu
menyodorkan sebotol air mineral yang ia ambil dari tasnya kepada Menara.
Rindu
memang teman yang baik. Menara berteman dengan Rindu sejak di bangku kuliah,
sekitar dua tahun yang lalu. Bisa dibilang mereka bersahabat. Terkadang Rindu
sering menginap di kontrakan Menara, atau sebaliknya. Rindu adalah pendengar
yang baik. Selalu memberi solusi-solusi untuk masalah Menara. Namun, dua minggu
terakhir ini Menara agak pendiam. Setiap Rindu bertanya tentang apa yang
terjadi, Menara tidak pernah menjawabnya. Menara memang tidak menceritakan
segalanya kepada Rindu, terutama soal keluarga. Rindu memahami sahabatnya ini,
ia tidak pernah memaksanya untuk bercerita.
Belakangan
Rindu baru mengetahui bahwa ayah Menara baru saja meninggal. Mungkin itulah
salah satu alasan mengapa Menara menjadi pendiam akhir-akhir ini dan mengapa Menara
jarang bercerita kepadanya.
Menara
adalah anak tunggal meskipun demikian ia tidak menjadi anak yang manja. Apa
yang bisa ia kerjakan, akan ia kerjakan sendiri. Sejak SMP ia sudah harus
sekolah sambil bekerja. Ekonomi keluarganya memang pas-pasan. Gaji kedua orang
tuanya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sekolahnya yang semakin meningkat.
Ayahnya seorang tukang bangunan, sedangkan ibunya hanya bekerja sebagai seorang
buruh cuci untuk tetangganya. Melihat kedua orang tuanya bekerja keras untuk
dirinya, Menara merasa kasihan kepada mereka. Ia tidak mau menambah beban orang
tuanya dengan meminta ini dan itu. Maka dari itu ia bekerja sebagai pengantar
koran ke rumah-rumah sebelum ia berangkat sekolah. Ia mendapatkan koran-koran
itu dari tetangganya yang seorang agen koran. Hal itu ia lakukan sampai ia
duduk dibangku SMA. Menara tidak pernah malu dengan apa yang dikerjakannya.
Beruntungnya, Menara adalah anak yang cerdas. Dia selalu menjadi juara di sekolah.
Hingga ia sering mendapat beasiswa. Pun kuliahnya sekarang ini ia juga mendapat
beasiswa dari DIKTI. Jika tak ada beasiswa, itu artinya ia tidak akan kuliah.
“Rin, pukul berapa sekarang ?” Tanya
Menara setelah ia puas minum air mineral pemberian Rindu.
“Pukul 7.10” balas Rindu. “Kamu
sudah tidak apa-apa Ra? Wajahmu pucat sekali,” tambahnya.
“Enggak
apa-apa Rin,” jawab Menara pelan. “Aku harus ke lantai tiga sekarang, kuliahku
akan segera dimulai.”
“Lebih baik kamu ikut aku ke kantin
dulu Ra, setidaknya kamu beri sedikit makanan untuk perutmu itu,” ajak Rindu
seakan ia memang tahu kalau Menara belum sarapan.
“Enggak
perlu Rin, aku baik-baik saja.” Setelah menjawab, Menara langsung
melanjutkan perjalanannya. Rindu mengiyakan dan melepas kepergian Menara.
Kelasnya
ada di lantai tiga. Jadi ia harus menapaki anak tangga lagi untuk sampai di sana.
Dengan jalannya yang masih terhuyung-huyung, ia lewati satu persatu anak tangga
menuju lantai tiga. Sesampai di depan kelas nafasnya tidak beraturan. Syukurlah
ia belum terlalu lama terlambat.
Sesampai
di dalam kelas, ia mengambil kursi yang masih kosong untuk di duduki. Biasanya
semua penjelasan dari dosen selalu bisa ia pahami. Namun kali ini, entah kenapa
otaknya dipenuhi dengan masalah-masalah yang mengganggu konsentrasinya. Ia teringat
ibunya di desa. Ibu pasti kesepian, pikirnya. Setelah ayahnya meninggal, tidak
ada siapa-siapa lagi yang menemani ibu. Menara sangat sayang dan khawatir. Karena
sekarang tanpa ayahnya, ibunya harus tinggal seorang diri.
“Ra,
kamu melamun ya ?” Dina teman sekelasnya yang sedari tadi memperhatikan Menara
membuyarkan lamunannya.
“Eh...e... enggak,” jawab Menara sekenanya.
“Kamu sakit ya? Wajahmu pucat, kamu
izin saja Ra,” tambah Dina.
“Ah, enggak perlu, sebentar lagi kan juga sudah mau selesai
pelajarannya.”
“Yakin gak apa-apa?”
“Iya, Dina sayang. Makasih ya perhatiannya.”
“Hehe... Bisa saja kamu itu.” Dina
tersipu.
Memang benar kata Menara, lima menit
setelah pembicaraannya dengan Dina, kelas selesai. Semua mahasiswa berhamburan
keluar kelas. Hanya Menara yang tinggal di kelas. Ia masih sibuk menyalin
beberapa catatan milik Dina yang belum ia selesaikan.
“Hai Ra, lagi sibuk ya?” Tiba-tiba Rindu
mengejutkannya dari balik pintu.
“Hai,” balas Menara kaget. “Kamu
sudah gak ada kuliah Rin ?”
“Gak
ada sudah selesai dari tadi. Oh ya, ini Ra buat kamu.” Rindu menyerahkan sebuah
bungkusan kepada Menara.
“Nasi?” Tanya Menara.
“Bukan! Bom atom. Ya iyalah Ra, kan
sudah kelihatan banget itu bungkusan
nasi.” Jawab Rindu sedikit kesal, tetapi diakhiri dengan senyumnya yang manis.
“Buat aku?”
“Ya masa buat tetangga kamu.”
“Gak
usah repot-repot Rin, aku sudah makan kok.
Kamu saja yang makan.”
“Sudahlah, aku tahu kamu belum
makan.” Balas Rindu. “Ya sudah, kalau begitu kita makan sama-sama saja.”
Akhirnya mereka makan sama-sama.
Setelah makan, Rindu mencoba membuka pembicaraan.
“Ra, ngomong-ngomong kamu mau cerita
gak sama aku kenapa kamu akhir-akhir
ini terlihat murung dan sedikit pendiam.”
“Maafkan aku ya Rin, pasti kamu
mengkhawatirkan aku.” Jawab Menara.
“Sebenarnya
aku khawatir dengan ibuku. Kamu tahu kan, setelah ayah meninggal, ibuku tidak
ada lagi yang menemani. Dua hari yang lalu Mas Dimin tetanggaku mengabarkan
bahwa darah tinggi ibuku kambuh lagi. Aku ingin pulang Rin, tetapi keadaan
tidak memungkinkan aku untuk pulang.” Keluh Menara.
Tanpa terasa butiran air mata
mengalir di pipi Menara. Wajahnya basah dan matanya sayu. Rindu yang melihat
hal itu juga tak kuasa menahan
tangisnya. Mereka berdua menangis dalam sunyi. Saling berpelukan dan memberi
semangat.
Tittt...tittt...
Suara HP Menara menghentikan tangis
mereka. Menara seakan merasakan tubuhnya seperti lumpuh. Kepalanya kembali
berkunang-kunang. Kakinya tiba-tiba lemas setelah membaca SMS yang ia terima.
Ra,
ini mas Dimin tetanggamu di desa. Mas harap kamu tabah dan ikhlas. Ra, ibumu
telah menghadap Yang Kuasa. Yang sabar ya.
Menara seakan kehilangan
mataharinya. Gumpalan-gumpalan awan hitam yang berarak di sebelah timur seakan
menyindir keadaannya saat ini. Hujan yang baru saja turun ikut menangis
bersamanya. Rindu yang segera mengetahui hal itu ikut melebur dalam kesedihan Menara.
Ia tak pernah menyangka, Menara sahabat yang ia sayangi harus merana seperti
ini. Di balik keceriaannya selama ini, ternyata Menara menyembunyikan begitu
banyak kesedihan.
“Inna lillahi wa inna illaihi rajiun...,”
Rindu bersimpuh di samping Menara. Ah, betapa kematian itu rahasia Ilahi, di mana
seseorang akan menemukan kehidupan yang sebenarnya setelah kematian itu datang.
Menara sahabatku, semoga engkau selalu dalam lindunganNya. Dan kebahagiaan
selalu menyertaimu. Percayalah akan janjiNya, bahwa sesudah kesulitan pasti
akan ada kemudahan.
*Ratna W. Anggraini
Komentar
Posting Komentar
Hai, Kawan. Kamu bisa tinggalkan komentar, bila kamu suka tulisan ini yaaa ... :) Terima kasih sudah membaca.