Pendidikan Karakter untuk Membangun Keberadaban Bangsa
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Indonesia memerlukan sumber daya
manusia dalam jumlah dan mutu yang memadai sebagai pendukung utama dalam
pembangunan. Untuk memenuhi sumber daya manusia tersebut, pendidikan memiliki peran
yang sangat penting.
Hal ini sesuai dengan UU No 20 Tahun
2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa
pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Berdasarkan fungsi dan tujuan
pendidikan nasional, jelas bahwa pendidikan di setiap jenjang, termasuk di
sekolah harus diselenggarakan secara sistematis guna mencapai tujuan tersebut. Hal tersebut
berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga mampu bersaing,
beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat.
Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat (Ali Ibrahim
Akbar, 2000), ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh
pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan
mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan,
kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80
persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil
dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill. Hal
ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik sangat penting untuk
ditingkatkan. Melihat masyarakat Indonesia sendiri juga lemah sekali dalam
penguasaan soft skill. Untuk itu penulis menulis makalah ini, agar pembaca tahu
betapa pentingnya pendidikan karakter bagi semua orang, khususnya bangsa
Indonesia sendiri.
B.Rumusan
Masalah
Penulis telah
menyusun beberapa masalah yang akan dibahas dalam makalah ini sebagai batasan
dalam pembahasan bab isi. Adapun beberapa masalah yang akan dibahas dalam karya
tulis ini antara lain:
·
Apa pengertian dari pendidikan karakter
itu?
·
Bagaimana hubungan pendidikan karakter
dengan keberadaban bangsa?
·
Bagaimana upaya-upaya dalam
meningkatkan mutu dari pendidikan karakter?
·
Bagaimana gambaran dari pendidikan
karakter yang sudah berhasil?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang disusun oleh penulis di
atas, maka tujuan dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
·
Untuk mengetahui apa itu pendidikan
karakter.
·
Untuk mengetahui hubungan pendidikan
karakter dengan keberadaban bangsa.
·
Untuk mengetahui upaya-upaya dalam
meningktakan mutu dari pendidikan karakter.
·
Untuk mengetahui bagaiamana gambaran
dari pendidikan karakter yang sudah berhasil.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Pendidikan Karakter
Pendidikan pada hakikatnya merupakan suatu
usaha yang disadari untuk mengembangkan kepribadian dan kemampian manusia, yang
dilaksanakan di dalam maupun di luar sekolah, dan berlangsung seumur hidup.
Sedangkan karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan
dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan
kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan
perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat
istiadat.
Pendidikan karakter adalah suatu sistem
penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen
pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan
nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri,
sesama, lingkungan, maupun kebangsaan. Dalam pendidikan karakter di sekolah,
semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen
pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian,
kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan
sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana
prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.
Belajar diukur berdasarkan perubahan
dalam perilaku. Dengan kata lain, hasil belajar harus selalu diterjemahkan ke dalam
perilaku atau tindakan yang dapat diamati. Setelah menjalani proses belajar,
pembelajar akan mampu melakukan sesuatu yang tidak bisa mereka lakukan sebelum
mereka belajar. Namun bukan berarti belajar adalah sebuah perilaku, belajar
adalah sesuatu yang terjadi sebagai hasil atau akibat dari pengalaman dan
mendahului perubahan perilaku.
Pendidikan karakter yang utuh dan
menyeluruh tidak sekedar membentuk anak-anak muda menjadi pribadi yang cerdas
dan baik, melainkan juga membentuk mereka menjadi pelaku baik bagi perubahan
dalam hidupnya sendiri, yang pada gilirannya akan menyumbangkan perubahan dalam
tatanan sosial kemasyarakatan menjadi lebih adil, baik, dan manusiawi.
B. Pendidikan
Karakter untuk Membangun Keberadaban Bangsa
Dunia pendidikan diharapkan sebagai
motor penggerak untuk memfasilitasi perkembangan karakter, sehingga anggota
masyarakat mempunyai kesadaran kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmonis dan
demokratis dengan tetap memerhatikan sendi-sendi Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) dan norma-norma sosial di masyarakat yang telah menjadi
kesepakatan bersama.
Karena kebanyakan perilaku manusia itu
terbentuk melalui proses belajar, penelitian atu prinsip-prinsip belajar akan
membantu memahami mengapa manusia berperilaku seperti yang dilakukan sekarang.
Karena apa yang kita lakukan sekarang merupakan sebab dari akibat di masa
mendatang. Hal ini membuktikan bahwa pendidikan terutama pendidikan karakter
sangat berpengaruh terhadap pembangunan peradaban bangsa. Setelah pengetahuan
tentang proses belajar itu sendiri bertambah, maka praktik pendidikan akan
semakin efisien dan efektif.
Dari mana asalmu tidak penting, ukuran tubuhmu juga tidak
penting, ukuran Otakmu cukup penting, ukuran hatimu itulah yang sangat penting.
Karena otak
(pikiran) dan kalbu hati yang paling kuat menggerak seseorang itu ”bertutur
kata dan bertindak”. Simak, telaah, dan renungkan dalam hati apakah telah
memadai ”wahana” pembelajaran memberikan peluang bagi peserta didik untuk multi
kecerdasan yang mampu mengembangkan sikap-sikap: kejujuran, integritas,
komitmen, kedisipilinan, visioner, dan kemandirian. Pendidikan memberikan
seseorang modal pengetahuan dam kompetisi yang dibutuhkan untuk membuat pembeda
atau penaksir nilai. Nilai sopan santun, malu, kerja keras,
kejujuiran,kepercayaan, dan lainnya dibentuk, diperkuat, dan dipertahankan melalui,
terutama pendidikan formal. Hal itu tampak bagaimana nilai dan norma yang
disosialisasikan oleh guru dalam pendidikan mampu menjadi rujukan berfikir, bersikap,
dan berperilaku peserta didik.
Sejarah memberikan pelajaran yang amat
berharga, betapa perbedaan, pertentangan, dan pertukaran pikiran itulah
sesungguhnya yang mengantarkan kita ke gerbang kemerdekaan. Melalui perdebatan
tersebut kita banyak belajar, bagaimana toleransi dan keterbukaan para pendiri
republik ini dalam menerima pendapat, dan berbagai kritik saat itu. Melalui
pertukaran pikiran itu kita juga bisa mencermati, betapa kuat keinginan para
pemimpin bangsa itu untuk bersatu di dalam satu identitas kebangsaan, sehingga
perbedaan-perbedaan tidak menjadi persoalan bagi mereka. Karena itu pendidikan
karakter harus digali dari landasan idiil Pancasila, dan landasan
konstitusional UUD 1945.
Sejarah Indonesia memperlihatkan bahwa
pada tahun 1928, ikrar “Sumpah Pemuda” menegaskan tekad untuk membangun
nasional Indonesia. Mereka bersumpah untuk berbangsa, bertanah air, dan
berbahasa satu yaitu Indonesia. Ketika merdeka dipilihnya bentuk negara
kesatuan. Kedua peristiwa sejarah ini menunjukan suatu kebutuhan yang secara
sosio-politis merefleksi keberadaan watak pluralisme tersebut. Kenyataan
sejarah dan sosial budaya tersebut lebih diperkuat lagi melalui arti simbol
“Bhineka Tunggal Ika” pada lambang negara Indonesia.
Dari mana memulai dibelajarkannya nilai-nilai karakter bangsa, dari pendidikan informal, dan secara pararel berlanjut pada pendidikan formal dan nonformal.Tantangan saat ini dan ke depan bagaimana kita mampu menempatkan pendidikan karakter sebagai sesuatu kekuatan bangsa. Oleh karena itu kebijakan dan implementasi pendidikan yang berbasis karakter menjadi sangat penting dan strategis dalam rangka membangun bangsa ini. Hal ini tentunya juga menuntut adanya dukungan yang kondusif dari pranata politik, sosial, dan budaya bangsa.
”Pendidikan Karakter Untuk Membangun Keberadaban Bangsa” adalah kearifan dari keaneragaman nilai dan budaya kehidupan bermasyarakat. Kearifan itu segera muncul, jika seseorang membuka diri untuk menjalani kehidupan bersama dengan melihat realitas plural yang terjadi. Oleh karena itu pendidikan harus diletakan pada posisi yang tepat, apalagi ketika menghadapi konflik yang berbasis pada ras, suku dan keagamaan. Pendidikan karakter bukanlah sekedar wacana tetapi realitas implementasinya, bukan hanya sekedar kata-kata tetapi tindakan dan bukan simbol atau slogan, tetapi keberpihak yang cerdas untuk membangun keberadaban bangsa Indonesia. Pembiasaan berperilaku santun dan damai adalah refreksi dari tekad kita sekali merdeka, tetap merdeka.
Dari mana memulai dibelajarkannya nilai-nilai karakter bangsa, dari pendidikan informal, dan secara pararel berlanjut pada pendidikan formal dan nonformal.Tantangan saat ini dan ke depan bagaimana kita mampu menempatkan pendidikan karakter sebagai sesuatu kekuatan bangsa. Oleh karena itu kebijakan dan implementasi pendidikan yang berbasis karakter menjadi sangat penting dan strategis dalam rangka membangun bangsa ini. Hal ini tentunya juga menuntut adanya dukungan yang kondusif dari pranata politik, sosial, dan budaya bangsa.
”Pendidikan Karakter Untuk Membangun Keberadaban Bangsa” adalah kearifan dari keaneragaman nilai dan budaya kehidupan bermasyarakat. Kearifan itu segera muncul, jika seseorang membuka diri untuk menjalani kehidupan bersama dengan melihat realitas plural yang terjadi. Oleh karena itu pendidikan harus diletakan pada posisi yang tepat, apalagi ketika menghadapi konflik yang berbasis pada ras, suku dan keagamaan. Pendidikan karakter bukanlah sekedar wacana tetapi realitas implementasinya, bukan hanya sekedar kata-kata tetapi tindakan dan bukan simbol atau slogan, tetapi keberpihak yang cerdas untuk membangun keberadaban bangsa Indonesia. Pembiasaan berperilaku santun dan damai adalah refreksi dari tekad kita sekali merdeka, tetap merdeka.
C. Upaya
Meningkatkan Mutu Pendidikan Karakter.
Terlepas dari berbagai kekurangan dalam
praktik pendidikan di Indonesia, apabila dilihat dari standar nasional
pendidikan yang menjadi acuan pengembangan kurikulum (KTSP), dan implementasi
pembelajaran dan penilaian di sekolah, tujuan pendidikan sebenarnya dapat
dicapai dengan baik. Pembinaan karakter juga termasuk dalam materi yang harus
diajarkan dan dikuasai serta direalisasikan oleh peserta didik dalam kehidupan
sehari-hari. Permasalahannya, pendidikan karakter di sekolah selama ini baru menyentuh
pada tingkatan pengenalan norma atau nilai-nilai, dan belum pada tingkatan
internalisasi dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai upaya untuk meningkatkan
kesesuaian dan mutu pendidikan karakter, Kementerian Pendidikan Nasional
mengembangkan grand design pendidikan karakter untuk setiap
jalur, jenjang, dan jenis satuan pendidikan. Grand design menjadi
rujukan konseptual dan operasional pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian
pada setiap jalur dan jenjang pendidikan. Konfigurasi karakter dalam konteks
totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dikelompokan dalam:
Olah Hati (Spiritual and emotional
development), Olah Pikir (intellectual
development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical
and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development). Pengembangan
dan implementasi pendidikan karakter perlu dilakukan dengan mengacu pada grand
design tersebut.
Menurut UU No 20 Tahun 2003 Tentang
Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 13 Ayat 1 menyebutkan bahwa Jalur
pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat
saling melengkapi dan memperkaya. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan
keluarga dan lingkungan. Pendidikan informal sesungguhnya memiliki peran dan
kontribusi yang sangat besar dalam keberhasilan pendidikan. Peserta didik
mengikuti pendidikan di sekolah hanya sekitar 7 jam per hari, atau kurang dari
30%. Selebihnya (70%), peserta didik berada dalam keluarga dan lingkungan
sekitarnya. Jika dilihat dari aspek kuantitas waktu, pendidikan di sekolah
berkontribusi hanya sebesar 30% terhadap hasil pendidikan peserta didik.
Selama ini, pendidikan informal terutama dalam lingkungan keluarga belum memberikan kontribusi berarti dalam mendukung pencapaian kompetensi dan pembentukan karakter peserta didik. Kesibukan dan aktivitas kerja orang tua yang relatif tinggi, kurangnya pemahaman orang tua dalam mendidik anak di lingkungan keluarga, pengaruh pergaulan di lingkungan sekitar, dan pengaruh media elektronik ditengarai bisa berpengaruh negatif terhadap perkembangan dan pencapaian hasil belajar peserta didik. Salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah melalui pendidikan karakter terpadu, yaitu memadukan dan mengoptimalkan kegiatan pendidikan informal lingkungan keluarga dengan pendidikan formal di sekolah. Dalam hal ini, waktu belajar peserta didik di sekolah perlu dioptimalkan agar peningkatan mutu hasil belajar dapat dicapai, terutama dalam pembentukan karakter peserta didik.
Selama ini, pendidikan informal terutama dalam lingkungan keluarga belum memberikan kontribusi berarti dalam mendukung pencapaian kompetensi dan pembentukan karakter peserta didik. Kesibukan dan aktivitas kerja orang tua yang relatif tinggi, kurangnya pemahaman orang tua dalam mendidik anak di lingkungan keluarga, pengaruh pergaulan di lingkungan sekitar, dan pengaruh media elektronik ditengarai bisa berpengaruh negatif terhadap perkembangan dan pencapaian hasil belajar peserta didik. Salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah melalui pendidikan karakter terpadu, yaitu memadukan dan mengoptimalkan kegiatan pendidikan informal lingkungan keluarga dengan pendidikan formal di sekolah. Dalam hal ini, waktu belajar peserta didik di sekolah perlu dioptimalkan agar peningkatan mutu hasil belajar dapat dicapai, terutama dalam pembentukan karakter peserta didik.
Sasaran pendidikan karakter adalah
seluruh sekolah di Indonesia terutama pada tingkat SMP negeri maupun swasta,
karena di masa SMP peserta didik belum terlalu melawan kepada guru, seperti
anak SMA, dan anak SMP tidak terlalu kecil untuk mendapatkan materi pendidikan
karakter, seperti anak SD atau MI. Semua warga sekolah, meliputi para peserta
didik, guru, karyawan administrasi, dan pimpinan sekolah menjadi sasaran
program ini. Sekolah-sekolah yang selama ini telah berhasil melaksanakan
pendidikan karakter dengan baik dijadikan sebagai best practices, yang menjadi
contoh untuk disebarluaskan ke sekolah-sekolah lainnya.
Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang. Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta memersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari.
Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang. Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta memersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari.
Menurut Mochtar Buchori (2007),
pendidikan karakter seharusnya membawa peserta didik ke pengenalan nilai secara
kognitif, penghayatan nilai secara afektif, dan akhirnya ke pengamalan nilai
secara nyata. Permasalahan pendidikan karakter yang selama ini ada di SMP perlu
segera dikaji, dan dicari altenatif-alternatif solusinya, serta perlu
dikembangkannya secara lebih operasional sehingga mudah diimplementasikan di
sekolah.
Melalui program ini diharapkan
lulusan-lulusan dari peserta didik dapat memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berkarakter mulia, kompetensi akademik
yang utuh dan terpadu, sekaligus memiliki kepribadian yang baik sesuai
norma-norma dan budaya Indonesia. Pada tataran yang lebih luas, pendidikan
karakter nantinya diharapkan menjadi budaya sekolah. Berikut beberapa contoh
kasus implementasi pendidikan karakter yang diberikan kepada peserta didik
a. Membangun
Karakter Siswa Dengan "Sepiring Nasi" ( Iwan Gunawan,Guru SD Salman
Al Farisi, Bandung )
“Guru kreatif
terkadang mengajar dalam bingkai eksplorasi dan ketidakjelasan. Ia lebih
mencari esensialitas daripada rutinitas atas apa yang dipelajari bersama siswa.
Ia akan tersenyum manakala siswa bertanya,”Pak saya menemukan hal berbeda,
tidak seperti yang bapak katakan atau teman saya temukan, mengapa?”
Awalnya ada
sedikit keraguan untuk menuliskan pengalaman ini, karena banyak teman yang
‘agak sedikit’ mengerutkan dahi dengan ‘metode yang agak sedikit nyleneh’ yang
saya pakai ini. Tapi biarlah itu berlalu, mungkin mereka belum tahu metode
‘sepiring nasi’ yang pernah saya gunakan.Ide awal menggunakan metode ini,
didasari oleh sebuah kebingungan mengunakan metode yang tepat untuk menjelaskan
materi PKn tentang ‘Manusia sebagai mahluk sosial’. Dalam hal ini saya dituntut
untuk bisa menterjemahkan hal-hal yang abstrak menjadi nyata buat siswa,
sehingga bisa memudahkan siswa untuk memahami materi yang rumit dengan cara
yang sederhana. Berbicara tentang sepiring nasi, kita mungkin selalu
mengkaitkannya dengan masalah makan, perut lapar, nikmat dan sebagainya. Tetapi
tahukah kita bahwa sepiring nasi menyimpan banyak rahasia yang bisa digunakan
dalam pembelajaran? Lalu apa kaitan antara sepiring nasi dengan pembelajaran?
Secara sepintas mungkin tidak ada. Tetapi apabila kita mau sedikit kreatif
dengan sepiring nasi, maka kita bisa menjadikannya sebagai sebuah metode
pembelajaran.
Sepiring
nasi yang biasa kita makan, sebenarnya memiliki makna yang sangat dalam bagi
tumbuhnya kepekaan, kepedulian dan penghargaan atas hasil jerih payah orang
lain. Mungkin selama ini, kita hanya memandang sesaat sepiring nasi tanpa
menganalisanya lebih dalam. Bahkan kita tidak punya waktu sama sekali untuk memerhatikan
sepiring nasi ini disaat perut sudah sangat lapar.
Cobalah amati dengan seksama dan luangkan waktu sejenak, “Apa saja” yang ada dalam sepiring nasi? nasi, ikan asin, ikan goreng, ayam goreng , tahu, lalap, sambal, tempe, ketimun, garam, vetsin, piring, sendok atau mungkin ada hal yang lainnya?
Dari analisis sederhana ini, cobalah uraikan kembali ‘siapa saja’ yang berperan dalam menyediakan barang-barang tersebut. Sebagai contoh, petani merupakan pihak yang bertanggung jawab dalam menyediakan beras, Ibu yang memasak nasi dan menggoreng, tahu dibuat oleh pengrajin tahu, garam disediakan oleh petani garam, dan tentunya masih banyak pihak-pihak lain yang terlibat. Pernahkan kita berpikir sejauh itu? Mungkin selama ini kita hanya siap untuk menerima semua itu dalam keadaan sudah jadi…nasi rames!
Sekarang, apa kaitannya antara sepiring nasi dengan pembelajaran? Kini saatnya guru untuk menjelaskan tentang keberadaan manusia sebagai mahluk social. Sebagai mahluk sosial, manusia memiliki keterbatasan dan ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.
Cobalah amati dengan seksama dan luangkan waktu sejenak, “Apa saja” yang ada dalam sepiring nasi? nasi, ikan asin, ikan goreng, ayam goreng , tahu, lalap, sambal, tempe, ketimun, garam, vetsin, piring, sendok atau mungkin ada hal yang lainnya?
Dari analisis sederhana ini, cobalah uraikan kembali ‘siapa saja’ yang berperan dalam menyediakan barang-barang tersebut. Sebagai contoh, petani merupakan pihak yang bertanggung jawab dalam menyediakan beras, Ibu yang memasak nasi dan menggoreng, tahu dibuat oleh pengrajin tahu, garam disediakan oleh petani garam, dan tentunya masih banyak pihak-pihak lain yang terlibat. Pernahkan kita berpikir sejauh itu? Mungkin selama ini kita hanya siap untuk menerima semua itu dalam keadaan sudah jadi…nasi rames!
Sekarang, apa kaitannya antara sepiring nasi dengan pembelajaran? Kini saatnya guru untuk menjelaskan tentang keberadaan manusia sebagai mahluk social. Sebagai mahluk sosial, manusia memiliki keterbatasan dan ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.
Ajaklah siswa
untuk membayangkan suatu keadaan, dimana ketika dia akan ‘makan’ harus
mempersiapkan segala sesuatunya seorang diri mulai dari menanam padi selama 6
bulan, mengeringkan air laut untuk membuat garam, menanam kedelai untuk membuat
tahu dan tempe, menangkap ikan di laut untuk membuat ikan asin. Keadaan
‘imaginer’ seperti ini haruslah diterapkan, agar siswa memiliki kepekaan
terhadap hasil kerja dan jerih payah orang lain.
Untuk membangun
rasa kepekaan dan kepedulian, ajaklah siswa untuk membuat
pengandaian-pengadaian seperti ini “Seandainya tidak ada petani, kita tidak
bisa makan nasi”, “seandainya tidak ada petani garam, tentunya makanan kita
tidak ada rasanya”. Dari pengandaian-pengandaian ini, guru bisa mengajak siswa
untuk menyimpulkan sendiri tentang ‘pentingnya ada orang lain di sekitar kita’,
tanpa adanya mereka maka kebutuhan-kebutuhan kita tidak akan bisa terpenuhi.
Sepiring nasi!
Kau telah memberi sebuah inspirasi. Lalu, apakah kita sebagai guru masih bingung
dalam mencari metode untuk mengajarkan suatu materi? Ijinkan saya mengutip
sebuah anekdot.
“Suatu saat dua
orang yang berasal dari sekolah yang sama bertemu. Walaupun berbeda angkatan
tetapi mereka cepat akrab dan pada saat mereka membicarakan salah seorang
gurunya, mereka kemudian tertawa bersama-sama karena setelah obrolan yang
panjang terungkap bahwa sang guru tersebut masih melakukan praktek pengajaran
yang persis sama, bahkan ketika waktu kelulusan mereka terpaut lebih dari 7
tahun. Ini membuktikan bahwa guru yang bersangkutan tidak mau berubah dan menyejajarkan
diri dengan kemajuan jaman. Sudah bukan jamannya lagi kita mengajar berdasarkan
diktat kuliah serta keterangan dari dosen-dosen yang mengajar kita saat di
universitas dahulu. Jaman berubah demikian cepat dan informasi bertambah terus
menerus membuat sebuah ilmu menjadi cepat usang dan ketinggalan.
b. Kekuatan Do’a
Dalam Pembelajaran ( Iwan Gunawan, Guru SD Salman Al Farisi, Bandung )
Seringkali kali
dalam suatu pembelajaran banyak siswa yang tidak berminat terhadap suatu
pelajaran tertentu, baik karena sikap gurunya ataupun materi yang disampaikan
kurang menarik dan berkenan di hati para siswa.
Ketidaktertarikan
siswa ini bisa ditampilkan dalam bentuk pembangkangan, ribut ataupun mungkin
dengan cara yang lebih sopan, misalnya dengan bertanya kepada guru tentang “apa
manfaatnya bagiku” belajar materi ini. Di tengah semakin ketatnya persaingan di
dunia pendidikan dewasa ini, merupakan hal yang wajar apabila para siswa sering
khawatir akan mengalami kegagalan atau ketidakberhasilan dalam meraih prestasi
belajar atau bahkan takut tinggal kelas.
Sepintas,
pertanyaan “apa manfaatnya bagiku” ini agak sepele dan tidak perlu pembahasan
lebih lanjut. Akan tetapi bagi siswa, hal ini penting untuk diketahui karena
menyangkut keaktifan dalam merespon materi pembelajaran, dan rasa aman di dalam
mengahadapi masa depan mereka. Sebagaima dikatakan Arden N. Fardesen bahwa hal
yang mendorong seorang siswa untuk belajar adalah: Adanya sifat ingin tahu dan
menyelidiki dunia yang amat luas. Adanya sifat yang kreatif yang ada pada
manusia dan keinginan untuk selalu maju. Adanya keinginan untuk mendapatkan
simpati dari orang tua, guru, dan teman. Adanya uasaha untuk memperbaiki
kegagalaan yang lalu dengan usaha yang baru, baik dengan koprasi maupun dengan
kompetisi. Adanya usaha untuk mendapatkan rasa aman bila menguasai pelajaran. Adanya
ganjaran atau hukuman sebagai konsekwensi dari belajar.
Guru harus
memberikan rasa aman dan keselamatan kepada setiap peserta didik di dalam
menjalani masa-masa belajarnya. Hal ini senada dengan pendapat Moh. Surya
(1997) tentang peranan guru di sekolah, keluarga dan masyarakat di pandang dari
segi diri-pribadinya (self oriented), seorang guru harus berperan sebagai : Pekerja
sosial (social worker), yaitu seorang yang harus memberikan pelayanan kepada
masyarakat.
Pelajar dan ilmuwan, yaitu seorang yang harus senantiasa belajar secara terus menerus untuk mengembangkan penguasaan keilmuannya. Orang tua, artinya guru adalah wakil orang tua peserta didik bagi setiap peserta didik di sekolah. Model keteladanan, artinya guru adalah model perilaku yang harus dicontoh oleh para peserta didik. Pemberi keselamatan bagi setiap peserta didik. Peserta didik diharapkan akan merasa aman berada dalam didikan gurunya.
Pelajar dan ilmuwan, yaitu seorang yang harus senantiasa belajar secara terus menerus untuk mengembangkan penguasaan keilmuannya. Orang tua, artinya guru adalah wakil orang tua peserta didik bagi setiap peserta didik di sekolah. Model keteladanan, artinya guru adalah model perilaku yang harus dicontoh oleh para peserta didik. Pemberi keselamatan bagi setiap peserta didik. Peserta didik diharapkan akan merasa aman berada dalam didikan gurunya.
Seringkali,
kita sebagai guru mengarahkan permasalahan ini kepada siswa sebagai
penyebabnya, baik karena siswa yang malas, tidak punya buku paket atau alasan
lain. Seorang guru harus senantiasa mau beintrospeksi pada diri sendiri. Betapa
banyak guru sering menempatkan dirinya sebagai “dewa kebenaran” yang
seolah-olah serba tahu semua keinginan muridnya. Padahal sejalan dengan
tantangan kehidupan global, peran dan tanggung jawab guru pada masa mendatang
akan semakin kompleks, sehingga menuntut guru untuk senantiasa melakukan
berbagai peningkatan dan penyesuaian kemampuan profesionalnya. Guru harus lebih
dinamis dan kreatif dalam mengembangkan proses pembelajaran peserta didik. Guru
di masa mendatang tidak lagi menjadi satu-satunya orang yang paling well
informed terhadap berbagai informasi dan pengetahuan yang sedang tumbuh,
berkembang, berinteraksi dengan manusia di jagat raya ini. Di masa depan, guru
bukan satu-satunya orang yang lebih pandai di tengah-tengah peserta didiknya.
Guru seringkali
terjebak dalam pemecahan masalah “apa manfaatnya bagiku” dengan menggunakan
metode-metode yang belum tentu sesuai dengan kondisi yang dihadapi. Dari
beberapa metode dan pendekatan yang digunakan, ada satu hal yang kiranya bisa
dijadikan ‘alternative’ untuk memecahkan masalah tersebut terlepas dari cara
yang telah dilakukan oleh guru seperti memperjelas tujuan yang ingin dicapai,
membangkitkan minat siswa, menciptakan suasana yang menyenangkan dalam belajar,
memberi pujian yang wajar terhadap setiap keberhasilan siswa, memberikan
penilaian, memberi komentar terhadap hasil pekerjaan siswa, dan menciptakan
persaingan dan kerja sama yang sehat. Alternatif ini sangat murah dan mudah
dilakukan, tanpa perlu mempelajari teori yang rumit yaitu berdoa.
Lalu apa
hubungannya antara doa dengan kebermaknaan dalam pembelajaran? Cobalah
ingat-ingat kembali oleh kita, berapa kali kita mendoakan siswa-siswa kita
dalam belajar atau minimal mendoakan mereka diawal atau diakhir pembelajaran?
Walaupun semua guru berbuat demikian, betapa jarang kita mendoakan mereka
diawal atau diakhir pembelajaran. Mungkin kita hanya menutup dan membuka
pembelajaran dengan ucapan “selamat pagi anak-anak”, “selamat siang”, “selamat
sore” serta ucapan-ucapan lainnya, atau bisa juga langsung ngeloyor meninggalkan
anak-anak tanpa sepatah kata pun. Ucapan-ucapan ini bukannya tidak bagus, akan
tetapi masih terlalu umum.
Konsep
pendidikan secara konvensional memberikan penekanan bahwa pendidikan itu adalah
bantuan pendidik untuk membuat subjek didik untuk menjadi dewasa. Konsep ini
mengandung makna bahwa pendidikan itu seakan-akan terhenti atau ada sebuah
terminal, bila kedewasaan telah tercapai. Konsep ini kemudian dipahami bahwa
pendidikan disamakan dengan system persekolahan. Dan terlebih lagi bahwa
pendidikan diterjemahkan sebagai cara memberikan bekal pengetahuan kepada anak
didik, agar ia dapat menggunakannya untuk menghadapi sisa hidupnya (Ardiwanta,
2007).
Implikasi dari
paradigm inilah yang mendorong para guru sangat bersemangat memberikan bekal
hidup pada peserta didik yang sebanyak-banyaknya, sehingga pendidikan sangat
berpusat kepada guru. Anak didik dianggap sebagai “botol kosong” yang harus
diisi dengan berbagai cairan apa saja pokoknya botol tersebut dapat terisi
penuh. Guru cenderung otoriter dalam proses penbelajaran, karena mereka merasa
tahu segalanya, sehingga pembelajaran berjalan satu arah ( one way instruction)
dan siswa tidak diberikan kesempatan untuk mengembangkan potensinya. Fungsi
guru disini tidak diartikan sebagaoi pendidik dalam makna sebenarnya
D. Pendidikan
Karakter Yang Berhasil.
Keberhasilan program pendidikan
karakter dapat diketahui melalui pencapaian indikator oleh peserta didik
sebagaimana tercantum dalam Standar Kompetensi Lulusan SMP, yang antara lain
meliputi sebagai berikut: Mengamalkan ajaran agama yang dianut sesuai dengan
tahap perkembangan remaja. Memahami kekurangan dan kelebihan diri sendiri. Menunjukkan
sikap percaya diri. Mematuhi aturan-aturan sosial yang berlaku dalam lingkungan
yang lebih luas.
Pada
tataran sekolah, kriteria pencapaian pendidikan karakter adalah terbentuknya
budaya sekolah, yaitu perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan
simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat
sekitar sekolah harus berlandaskan nilai-nilai tersebut.
Pendidikan karakter tidak
berhasil jika hanya retorika. Suksesnya pendidikan karakter justru butuh
keteladanan. Kita sering membicarakan karakter bangsa, tetapi hanya
sebatas retorika. Tidak sedikitpun tercermin dalam kehidupan sehari-hari,
terutama dari pemimpin bangsa. Padahal pendidikan karakter itu efektif dengan
keteladanan. Sekolah adalah miniatur dari sebuah sistem pendidikan nasional,
tetapi sekaligus potret dari perkembangan masyarakat. Bila masyarakatnya
berkembang sesuai dengan alur perkembangan jaman, maka pendidikan dalam hal ini
sekolah, akan sejalan dengan perkembangan itu, begitu juga sebaliknya.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A. Simpulan
Dari pembahasan
di atas kami dapat menyimpulkan beberapa kategori yaitu:
Bangsa Indonesia telah berusaha untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan karakter melalui sekolah-sekolah, terutama Sekolah Menengah Pertama (SMP), karena anak usia SMP sangat cocok untuk diberi pembelajaran tentang pendidikan karakter. Guru adalah orang tua para siswa. Karenanya, Rosulullah melarang para orangtua (guru) mendoakan keburukan bagi anak-didiknya. Mendoakan keburukan kepada anak merupakan hal yang berbahaya. Dapat mengakibatkan kehancuran anak dan masa depannya. Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang.
Bangsa Indonesia telah berusaha untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan karakter melalui sekolah-sekolah, terutama Sekolah Menengah Pertama (SMP), karena anak usia SMP sangat cocok untuk diberi pembelajaran tentang pendidikan karakter. Guru adalah orang tua para siswa. Karenanya, Rosulullah melarang para orangtua (guru) mendoakan keburukan bagi anak-didiknya. Mendoakan keburukan kepada anak merupakan hal yang berbahaya. Dapat mengakibatkan kehancuran anak dan masa depannya. Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang.
Bila pendidikan
karakter telah mencapai keberhasilan, tidak diragukan lagi kalau masa depan
bangsa Indonesia ini akan mengalami perubahan menuju kejayaan. Dan bila
pendidikan karakter ini mengalami kegagalan sudah pasti dampaknya akan sangat
besar bagi bangsa ini, Negara kita akan semakin ketinggalan dari Negara-negara
lain.
B. Saran
Pemerintah
harus selalu memantau atau mengawasi dunia pendidikan, karena dari dari dunia
pendidikan Negara bisa maju dan karena dunia pendidikan juga Negara bisa
hancur, bila pendidikan sudah disalah gunakan.
Selain
mengajar, seorang guru atau orang tua juga harus mendo’akan anak atau muridnya
supaya menjadi lebih baik, bukan mendo’akan keburukan bagi anak didiknya. Guru
harus memberikan rasa aman dan keselamatan kepada setiap peserta didik di dalam
menjalani masa-masa belajarnya, karena jika tidak semua pembelajaran yang di
jalani anak didik akan sia-sia. Semoga Makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua, khususnya bagi pembaca. Aamiin..
DAFTAR
PUSTAKA
Hergenhanh dan Matthew H. Olson. 2008. Theories of Learning. Prenada Media Group ; Jakarta
Roesminingsih dan Susarno Lamijan
Hadi.2012. Teori dan Praktek Pendidikan. FIP UNESA ;
Suhanadji,
dkk.2012. Sosiologi Antropologi dalam
Perspektif Pendidikan. Unesa University Press
: Surabaya
http://sulaimanzen.wordpress.com/2010/06/30/pendidikan-karakter-kekuatan-doa-dalam-
pembelajaran/
http://www.m-edukasi.web.id/2012/04/pengembangan-pendidikan-budaya-dan.html
Komentar
Posting Komentar
Hai, Kawan. Kamu bisa tinggalkan komentar, bila kamu suka tulisan ini yaaa ... :) Terima kasih sudah membaca.