Belajar Jadi Guru



Setiap pagi aku harus bangun pukul empat. Tentu saja ini berbeda dengan kebiasaanku. Yang biasanya mata ini terbuka menjelang fajar. Mengais sisa waktu di akhir subuh. Kini harus bangun bahkan sebelum bulan sempat berpamitan. Sebelum ayam jantan sempat berkokok. Sebelum muadzin shubuh bergegas ke masjid.  Lima minggu. Yah, lima minggu aku harus beradaptasi dengan keadaan seperti ini. Mampukah? Bahkan aku seringkali gagal menahan kantuk. Tanpa alarm, akankah aku bisa terbangun.  Iya kalau di rumah... ada ibu yang setia membangunkan meski tanpa diminta. Bahkan sebelum mata ini terbuka, makanan sudah terhidang rapi di atas meja makan. Sedang kali ini, bukan rumah yang harus kutinggali. Melainkan sepetak kamar kos. Tanpa alarm. Tanpa ibu. Dan tanpa teman. Hanya mengandalkan suara adzan dari Masjid di sebelah. Pun itu kalau telingaku tak terlalu sombong. Terkadang rasa lelah yang berlebihan, membuatku terbuai dalam mimpi. Astaghfirullahaladzim.
Hari pertama, ternyata aku bisa bangun awal. Tepat Adzan shubuh berkumandang, aku langsung menuju kamar mandi. Demi apa, pagi bahkan belum nampak. Gigil bahkan masih asyik menggodaku. Aku dihadapakan pada dinginnya air di kamar mandi. Ya Allah, cobaan apalagi ini, bathinku. Kenapa kau ciptakan air sedingin ini. Sementara Kau tahu, aku tak bisa menghangatkan air pada kompor kos agar gas LPG tetap hemat. Hallah, apa-apaan ini.
Ternyata waktu bisa berjalan. Cepat sekali rasanya. Baru saja kutengok masih pukul setengah lima. Tiba-tiba jarum jam sudah bergeser sepersekian derajat. Ah, tak ada waktu belanja. Tak sempat masak. Artinya tak ada sarapan. Kupikir besok aku harus belanja malam hari saja.
Tak peduli perut ini masih kosong. Dengan kemeja rapi, rok hitam, kerudung hitam polos dan tak lupa almamater. Lalu kutenteng tas ransel yang entah warna apa. Hitam bukan, coklat juga bukan. Karena terlalu sering kupakai dan sudah sering merasakan panasnya matahari dan dinginnya malam mungkin. Sehingga warnanya sudah tak keruan. Kuambil kunci motor di atas meja. Lalu kututup rapat pintu kamar kosku. Meski tak ada barang berharga, kewaspadaan terhadap barang-barang pribadi perlu kita perhatikan. Selain itu, percayalah... tikus sekarang lebih suka pada kamar berkasur empuk daripada bersembunyi di saluran air. Jangan sampai kau tidur bareng tikus. Bisa-bisa telingamu digigitnya. Duh, lupakan bagian ini.
Setelah kusiapkan motor, akulah yang bersiap-siap tancap gas. Kuingatkan kembali, kau bisa menyebut motorku Bruno. Yah, aku telah memilih nama itu untuk motor yang setia menemaniku kemana pun kaki ini harus berpijak. My partner travelling.
Setelah bergelut dengan dinginnya air kamar mandi. Kini aku dan Bruno berlenggang pada jalanan yang masih sepi. Membelah pagi bersama gigil yang terus mengikuti. Berasa jalanan milik sendiri. berasa artis catwalk, Bruno dengan gesit berlenggak-lenggok menyusuri setiap aspal yang kami lewati. Dari ujung barat, mencari jalan menuju ufuk timur. Gedung-gedung pencakar langit, perumahan, rumah sakit, gang-gang sempit, pasar tradisional, dan beberapa lampu merah berhasil kami lewati. Sekitar tiga puluh lima menit akhirnya aku sampai pada sebuah gerbang. Untuk kali pertama setelah bertahun-tahun lamanya, kini aku harus kembali dihadapkan pada sebuah gerbang. Yap, gerbang sekolah. Bukan sebagai murid. Bukan sebagai pegawai. Apalagi sebagai kepala sekolah. Bukan. Tapi aku datang sebagai seorang guru. Tepatnya guru magang. Ah, aku lebih suka “guru” tanpa embel-embel magang di belakangnya. Oke-oke... sebut saja aku guru pengganti. Untuk lima minggu ke depan aku akan belajar bagaimana menjadi seorang guru. Bagaimana aku seharusnya menghadapi murid-muridku. Demi menuntaskan 3 sks mata kuliah di semester 6 ini.
Akhirnya terpilihlah SMA Negeri 8 Surabaya untukku. Welcome to the school.

PPP 2 Universitas Negeri Surabaya di SMAN 8 Surabaya
Jadi guru itu gak sekadar mengajar. Tetapi juga harus menjadi warga sekolah yang baik dengan mengikuti dan menerapkan kebiasaan atau budaya-budaya yang ada di sekolah. Guru itu sebagai panutan dan contoh.

Setiba di sekolah, aku dan teman-teman PPP lainnya langsung menuju ke basecamp kami. Basecamp atau markas kami selama PPP berada di lab Biologi SMA Negeri 8 Surabaya. Sebuah ruangan yang agak luas, dengan sekitar delapan meja panjang dan beberapa kursi di setiap mejanya. Yah seperti kebanyakan lab-lab biologi di sekolah lainnya. Tentunya hiasan-hiasan yang tertata atau tertempel di sana tak jauh-jauh dari pelajaran Biologi. Mikroskop, binatang-binatang yang telah diawetkan, gambar bagian-bagian tubuh manusia dan sebagainya. Di tempok depan terpampang papan tulis putih besar dengan didampingi dua buah kerangka manusia di samping kiri dan kanannya. Dua kerangka atau tengkorak manusia itulah yang setiap hari menjadi pemandangan kami selama PPL saat berada di basecamp. Tak jarang kami iseng tebak-tebakan tentang mana kerangka yang cewek atau yang cowok. Haha, kadang itulah hiburan tersendiri bagi kami. Selain itu, speaker aktiv yang terletak di atas meja di sebelah kanan papan tulis juga seringkali kami manfaatkan untuk mendengarkan beberapa lagu kala penat.
Di sekolah tempat kami PPP, pelajaran dimulai pukul 6.30 setiap harinya. Sehingga pukul 06.00 kami harus sudah di basecamp. Setiap pagi diadakan piket salaman. Guru yang bertugas piket berdiri di depan gerbang menyambut kedatangan siswanya. Sedang siswa bersalaman pada guru. Guru dan siswa menerapkan kebiasaan senyum, salam, sapa, salim, sopan, santun dan kebiasaan-kebiasaan baik lainnya. Menurutku, kebiasaan ini sangat bagus. Selain menjaga kekeluargaan antar warga sekolah, agar siswa juga tetap menjaga sikap dan hormat terhadap gurunya. Tak hanya piket salaman, di sekolah kami juga menerapkan kebiasaan berdoa bersama dan budaya literasi. Setelah bel pertama, semua siswa wajib duduk tertib di bangkunya masing-masing dengan didampingi guru pada mata pelajaran pertama. Semua mendengarkan doa yang dipimpin langsung oleh guru agama/perwakilan siswa lewat speaker yang ada di setiap kelas dengan khidmat. Setelah berdoa selesai, siswa melakukan budaya literasi yaitu dengan membaca buku non pelajaran selama lima belas menit. Siswa sangat antusias sekali akan budaya literasi ini. Ada yang membaca novel, komik, majalah bahkan kitab atau kisah-kisah nabi. Bahkan setelah buku yang dibaca telah selesai, beberapa guru mewajibkan siswanya untuk membuat resensi buku tersebut. Kemudian menukarkan bukunya dengan temannya. Sehingga bacaan mereka bervariasi sekaligus kemampuan menulis mereka berkembang. Barulah setelah literasi selama lima belas menit, pelajaran pertama dimulai. Bahkan setiap hari senin setelah selesai upacara bendera, selalu ada pembinaan dari wali kelas di setiap kelas. Sehingga siswa dan wali kelas bisa sharing tentang kelas mereka masing-masing. Satu lagi kebiasaan yang diterapkan di sekolah kami yaitu pada hari Jumat pagi selalu diadakan kerja bakti atau senam sehat yang diikuti siswa dan guru. Dan sholat Jumat pada siang harinya yang wajib diikuti oleh siswa laki-laki. 
Begitu banyak kebiasan baik yang menginspirasi. Dengan tetap menerapkan disiplin terhadap tata tertib yang berlaku, sekolah juga memberikan beberapa fasilitas yang menunjang kegiatan siswa selama di sekolah. Pun aku mulai terbiasa dengan kebiasaan di sekolah ini. Aku mulai menikmati rutinitas menjadi guru. Bertemu wajah-wajah muridku setiap pagi dan melihat senyum-senyum mereka merupakan suntikan semangat tersendiri buatku. Mendampingi mereka membaca dan menulis membuatku bangga. Bangga karena mereka tetap semangat menuntut ilmu. Merekalah anak-anak muda yang akan merubah bangsa ini menjadi lebih baik. Anak-anak yang tak pernah malas membaca dan menulis ditengah-tengah perkembangan zaman yang mulai terusik dengan kedatangan gadget yang seringkali menyita waktu kalau penggunaannya tidak tepat.

*mencoba istiqomah... lagi belajar nulis, Kakaaak...
Bismillah ya...

Komentar

Posting Komentar

Hai, Kawan. Kamu bisa tinggalkan komentar, bila kamu suka tulisan ini yaaa ... :) Terima kasih sudah membaca.

Postingan populer dari blog ini

Dakwah Dari Diri Sendiri

Cara, Syarat, dan Biaya Perpanjang SIM di SIM Corner Praxis Surabaya (KTP Luar Kota)

Sinopsis Film Pesantren Impian