Dua Belas (Perjalanan Tanpa Batas : Bruno)
#1 Bruno
Ah,
benar-benar! Berisik sekali. Mengapa benda itu tak mau berhenti berisik. Ponsel
di sebelahku terus berdering. Mau tidak mau aku harus bangun mengeceknya. Kalau
tidak, suara itu akan terus memenuhi otakku.
Tiga
jam yang lalu kusuruh Ayet memasang alarm untukku. Laptop di atas meja masih
terbuka, tapi layarnya sudah mati. Setengah sadar, kucoba mengingat kejadian
sebelum tertidur. Ingatanku berhenti pada rengekan Ayet yang meminta
menemaninya menonton drama Korea di laptop.
“Baiklah,
akan kutemani. Tapi tonton sendiri ya ... aku sudah pernah.”
“Ada
cemilan gak? Keripik mungkin?”
“Gak
ada! Cemilin kasur aja tuh, anggap saja pinggiran kasur itu seperti pinggiran
roti kesukaanmu.”
Kira-kira
seperti itulah dialog kami. Dari drama Korea, cemilan, sampai akhirnya aku
tertidur. Kupikir dia akan tidur di kamarku malam ini. Tapi setelah melihat kasur
di sebelahku kosong, sudah pasti dia kembali ke kamarnya. Pandanganku mengedar
pada sepetak kamar yang tak terlalu luas. Ada dua kasur, dua lemari, juga satu
meja belajar. Dan terasa semakin sempit dengan barang-barangku yang juga semakin
berjubel.
Dua
tahun lalu kuputuskan pindah dari rumah mas di daerah Banyu Urip. Kubilang pada
ibuk aku ingin mandiri, tak ingin merepotkan saudara yang lain. Lagipula aku
tidak pindah terlalu jauh. Aku masih bisa mengunjungi mas dan keluarganya kapan
saja. Dari tempatku yang sekarang hanya butuh tiga puluh menit untuk ke rumah mas.
Dan tentu saja hanya butuh lima menit untuk sampai ke kampus. Lebih hemat waktu.
Ibuk juga tak perlu khawatir tentang biaya kos atau biaya hidupku. Aku cuma perlu izin dan restu dari ibuk dan bapak. InsyaAllah sudah ada rezeki dari Allah.
Sisa uang beasiswa ditambah hasil ngelesi
bisa dipakai bayar kos dan makan sehari-hari. Uang bensin dan jajan dapat dari
hasil jualan pulsa, kadang juga dari hasil jualan bumbu rujak manis usaha mas
dan istrinya. Di kampus juga, aku kuliah sambil berdagang yang kumampu selama tidak mempengaruhi proses belajarku. Kalau ada sisa bisa ditabung. Meski tak banyak, alhamdulillah selalu cukup. Bukankah
Allah hanya menciptakan kekayaan dan kecukupan. Allah tak pernah menciptakan
kemiskinan untuk siapa pun. Hanya orang-orang yang tak pernah bersyukur yang
selalu merasa miskin dan kurang. Sebuah kalimat pernah kudengar dari seseorang,
katanya kaya dan miskin itu hanya masalah mental.
“Astaghfirullah ...
aku lupa,” ransel di sebelah lemari mengingatkanku sesuatu.
Aku bahkan belum packing. Hari ini hari istimewa. Rencananya aku dan teman-teman
Forum Lingkar Pena (FLP) Surabaya akan melaksanakan travel writing ke Kediri. Kulihat jam di ponsel menunjukkan pukul
dua pagi. Tanpa babibubebo, aku bangkit dari kasur dan menjauh sejauh-jauhnya.
Tubuhku sensitif dengan bau kasur. Kalau tak segera beranjak, aku takut
terjerumus kembali pada godaan sang kasur yang melenakan. Aku melangkah menuju lemari
kecil di sudut kamar, mengambil beberapa pakaian dan memasukkannya pada ransel
biru yang kulihat tadi. Memanaskan setrika untuk menghaluskan beberapa kerudung
yang akan kubawa dan kupakai. Butuh setengah jam untuk melakukan semua itu. Setelah semua
beres, tinggal membersihkan diri. Tak lupa kutunaikan dua rakaat sebelum bergegas. Ustaz Solikhun pernah bilang; Rasulullah adalah
sebaik-baiknya teladan. Rasulullah selalu bangun sebelum Subuh dan melakukan
salat Tahajud. Begitulah kira-kira yang dikatakan guru ngajiku waktu kecil.
Kulirik
kembali ponsel di atas meja. Yaa Rabb, cepat sekali sudah pukul
setengah empat. Kupikir tiga puluh menit cukup untuk perjalanan ke stasiun
Gubeng. Setelah kupastikan semua yang akan dibawa lengkap, kugendong tas ransel
dan bersiap berangkat.
Hening.
Begitulah
suasana kos pagi ini. Azan Subuh bahkan masih lama. Pintu kamar teman-temanku masih
tertutup rapi. Hanya pintu kamar Ayet yang terbuka. Ayet tak pernah menutup
pintu kamarnya saat tidur. Katanya biar gak ongkep. Surabaya itu panas.
Ada
sembilan kamar di kos ini dengan sebelas penghuni. Tentu saja semuanya wanita, karena memang kos-kosan khusus perempuan. Semuanya orang perantauan
dari daerah yang berbeda-beda. Dua di antaranya berprofesi sebagai guru, sedangkan
sisanya masih berstatus mahasiswa termasuk aku dan Ayet. Di koridor tengah
dipakai sebagai parkir motor para penghuni kos. Kulihat Bruno tampak gagah sedang
menantiku di barisan belakang. Ah Bruno sahabatku, aku merindukanmu. Aku selalu
merindukanmu. Meski baru kemarin malam kita bersama. He-he-he.
Hampir
lima tahun sudah aku bersama Bruno. Melalang buana mengumpulkan kisah. Berpetualang
bersama. Menyusuri tempat demi tempat untuk dikunjungi. Dari yang dekat sampai
yang jauh. Bruno, motor kesayanganku. Hari ini dia sudah sangat siap. Kubuka pintu
rumah kos. Kukeluarkan Bruno dengan hati-hati. Setelah kunyalakan mesinnya, kami
bersiap melaju. Setelah menutup kembali pintu, sejenak kupandang jalanan gang
di depan. Sepi. Kupikir jalan itu nampak lebih panjang saat gelap. Belum terlihat
aktivitas sama sekali. Aku sedikit ragu. Kalau nanti ada begal gimana dong.
Kalau tiba-tiba ada penculik menyergapku? Penodong? Jambret? Perampok? Atau hal
yang lebih menakutkan? Biar bagaimana pun perasaan wanita kadang takut hal-hal
seperti itu. Ah sudahlah. Aku bukan penakut, kuucapkan itu tiga kali. Ingat nasihat Ustaz Solikhun, Innallaha ma’ana--ada Allah bersama
kita. Bukankah Allah satu-satunya tempat memohon pertolongan.
Bismillah ...
kumantapkan langkah. Bersama Bruno menyusuri jalanan Surabaya pagi. Tidak, ini
bahkan belum pagi. Fajar saja belum nampak. Kabar baiknya adalah aku bersyukur
lagi. Aku bisa menikmati oksigen secara eksklusif. Udara yang paling baik adalah
sebelum Subuh bukan? Belum terkontaminasi dengan apa pun. Anggap saja aku ini penguasa
jalanan Surabaya. Tak ada udara panas, matahari yang menyengat kulit, macet,
klakson kendaraan yang bising, asap knalpot yang menyesakkan, asap dari orang-orang
yang merokok sambil berkendara, juga umpatan orang-orang yang tak sabar
menunggu lampu merah. Alhamdulillah ....
Setengah
jam perjalanan menuju stasiun hampir usai. Sedikit lagi Gubeng. Yak, sudah
hampir terlihat. Satu, dua, tiga, empat. Empat, di seberang sana kulihat empat sosok
yang kukenal. Tepat pukul empat aku sampai di parkiran stasiun. Maaf, Maafkan aku Bruno, kali ini kita tak bisa bersama dalam perjalanan. Tenang ya,
terpaksa kau harus kuinapkan. Hanya dua hari, aku janji.
“InsyaAllah kamu akan baik-baik saja. Tunggu
aku ya.” ucapku lirih pada Bruno sebelum aku meninggalkannya.
***
Anda penasaran lanjutannya? Cekidot! baca di sini http://lieberatna.blogspot.co.id/2016/02/dua-belas-perjalanan-tanpa-batas_2.html
Hai ... ini Ratna dan Bruno saat di perjalanan yang lain. |
Anda penasaran lanjutannya? Cekidot! baca di sini http://lieberatna.blogspot.co.id/2016/02/dua-belas-perjalanan-tanpa-batas_2.html
Ndak lengkap ya?
BalasHapusTerus... terus... ??
BalasHapusTerus... terus... ??
BalasHapusada kok lanjutannya... ayo ubekubek blogku...
BalasHapusbaru #1 #2 #3 lanjutannya masih otw
Lucu dan menghibur, keren euih ratna. Tapi saya penasaran, judulnya kok dua belas ya...
BalasHapusKenapa dua belas hayoo... cari tahu
BalasHapusada 12 bagian ya, Teh?
BalasHapuswah.. satu bagian ini aja baru di Surabaya.
Congrat!
belum tahu sih Mas jadi berapa bagian. seselesai-selesainya deh... he-he
Hapus"Katanya, kaya dan miskin itu hanya masalah mental"
BalasHapusTerkesiap melihat tulisan ini hehe ...
Baca tulisan mbak Ratna ibarat melewati jalan Tol, wuuushhhh tak tersendat oleh apapun ... Mantap Mbak Rat ... =)
trrima kasih Mbak Fahr atensinya... i luvyu
Hapusitu kata-kata dari orang keren yang tak sengaja telinga ini dengar :)
Hapusbrunoo brunoo,, punyaku namanya bety mbak,,,
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusYang ikut duabelas orang dan ultahnya bruno yang kelima, hehe
BalasHapusho-ho-ho :)
HapusSalam kenal, Bruno ^^
BalasHapus