Dua Belas (Perjalanan Tanpa Batas : Kereta)



#2 Kereta
“Assalamualaikum...,” ucapku pada beberapa teman yang sudah datang lebih dulu.
“Waalaikumsalam.”
Syukurlah, mendengar balasan salam hatiku tenang. Itu berarti empat sosok yang kulihat dari seberang benar teman-temanku. Kuperhatikan mereka satu-satu. Mas Baim dengan buku di tangannya. Mas Abedil duduk di sebelah kirinya. Ke kiri lagi ada Mas Wahyu dan Mas Oki. Dan yang paling penting, semua kaki mereka nempel di tanah. Benar! Berarti tidak salah. Aku hanya sempat takut yang kulihat tadi hanya fatamorgana belaka. Yeyeye lalalala.
Aku kemudian duduk di kursi yang masih kosong. Kami  menunggu yang lain di depan toko di sebelah stasiun. Beberapa menit kemudian Mas Hendro datang.
“Mas Abedil, baru ini yang datang?” Tanyaku.
“Ada Mba Nur, Dik Aisyah dan Mba Utha di dalam stasiun.”
Mendengar jawaban itu, akhirnya aku memilih masuk ke stasiun. Bergabung bersama para ladies. Butuh beberapa langkah dari toko ke stasiun. Di antara kerumunan orang kucari mereka bertiga. Clinguk sana, clinguk sini.
“Ratna...”
Terdengar seperti suara Mba Utha. Kucari sumber suara dan aku menemukan mereka dengan cepat.  Bahagianya melihat senyum mereka mengembang.
Adzan Shubuh berkumandang. Kami memutuskan untuk salat dulu di stasiun bersama para pejuang Shubuh lainnya. Selesai kami berempat selesai, yang lainnya menyusul. Satu, dua, tiga... dua belas. Sayangnya hanya dua belas orang yang bisa ikut.
Mas Baim, Mas Wahyu, Mas Hendro, Mas Oki, Mba Utha, Mba Dina, Mba Saroh, Mba Nur, Mba Retno, Dik Aisyah, Dik Hikam dan Ratna.
Mas Abedil? Tidak, Mas Abedil tidak ikut. Beliau hanya mengantarkan keberangkatan kami. Karena ada amanah lain, Mas Abedil dan yang lainnya tidak bisa bergabung bersama kami. Hampir satu tahun kami merencanakan travel writing ini dan juga gagal berkali-kali. Kami harus mengatur ulang jadwal, memprioritaskan agenda yang lebih penting. Pun begitu dengan orang-orang yang ikut. Kami dari latar belakang pekerjaan yang berbeda-beda, memiliki waktu dan kesibukan yang berbeda-beda. Kuakui tidak mudah dalam perencanaan travel writing ini. Harus ada pertimbangan dari ini dan itu, untuk ini dan itu. Manusia memang bisa berencana, akan tetapi Allah yang memutuskan. Alhamdulillah, setelah melalui berbagai pertimbangan akhirnya kami hanya berangkat berduabelas. Memilih Kediri sebagai tujuan kami.
Selepas salat Shubuh, terdengar suara kereta kami datang dari arah utara. Jukijakkijukkijakkijuk.... Penjaga kereta mempersilakan masuk. Gerbong lima. Tempat kami gerbong lima. Hampir saja salah gerbong. Kami menyusuri gerbong dan mencari kursi tiga belas, empat belas dan lima belas. Ketemu!
Setengah lima pagi kereta kami berangkat dari Surabaya.
Ada banyak hal yang dapat dilakukan di kereta. Kuperhatikan mereka-mereka yang di dalam gerbong. Ada yang memilih untuk tidur, bercengkerama dengan orang-orang di dekatnya, makan cemilan, berfoto ria, shalat Shubuh di kereta, atau seperti teman-teman yang memilih untuk membuka dan membaca lembar tiap lembar buku yang dibawa. 
Orang-orang keren

Membaca bisa dimanapun dan kapanpun
Lalu aku? Tentu saja aku memilih nyemil. He-he-he, aku tak sempat memasak, tak sempat membawa bekal, tak sempat ke toko dan tak sempat sarapan. Cacing-cacing di perut tak bisa dibohongi. Cacing-cacing itu bahkan mendadak bisa berkokok. Lebih nyaring dari ayam jago di rumahku. Untunglah ada Mba Retno dan Mba Nur, mereka adalah super emak dengan banyak makanan. Ah, bahagianya aku. Sekarang cacingku sudah tidak berkokok lagi. Mereka sudah mendengkur dengan nyenyak. Terima kasih super emak.
Ratna lapar... sarapan dulu ya, habis itu baca lagi.  Mantap
Ujian pertama dari sebuah perjalanan adalah melatih kesabaran. Nikmati setiap detiknya tanpa mengeluh sampai pada tujuan. Masih tiga jam lagi. Setelah satu jam perjalanan, sungguh pemandangan yang menyejukkan mata. Hamparan sawah di kanan kiri. Menatap terbit matahari yang terlihat hangat. Suara kereta yang beradu dengan rel sungguh romantis. Setiap gesekan yang terdengar memberikan sensasi asik tersendiri buatku. Mengingatkanku pada masa lalu.
***

“Mas, aku mau ikut Mas ke Surabaya. Aku mau naik kereta,” ucapku pada Mas Handoyo. “Ibuk... aku mau ikut Mas, Buk.” Rengekku pada ibuk sambil menarik-narik ujung dasternya.
“Nana di rumah saja, Mas Handoyo ke Surabaya kan untuk sekolah,” kata ibukku.
Waktu itu usiaku baru lima tahun dan Mas Handoyo masih tujuh belas tahun. Aku terus merengek minta ikut. Aku ingat, aku ingin sekali naik kereta.
Ndak papa Buk, nanti kan di kos ada Bapak. Dik Nana bisa ditemani Bapak. Minggu depan kami pulang,” kata masku.
Selepas lulus SMP, mas sekolah di STM Pembangunan Surabaya. Sekarang lebih dikenal dengan SMK 5. Di Surabaya, mas tinggal di sepetak kamar kos dengan ditemani Bapak. Seminggu sekali mereka pulang ke rumah. Sampai waktu aku tiba di stasiun dengan mas, aku senang sekali. Aku mengenakan gaun biru muda dengan topi rajut warna biru dongker. Akhirnya aku akan melihat kereta. Sebelum masuk stasiun, aku dan mas pergi ke wartel bermaksud mengabari bapak di Surabaya. Aku menunggu di luar. Tiba-tiba aku mendengar suara kereta, gesekan kereta pada rel dan jukijakkijukkijakkijuk. Aku berlari, bermaksud melihat kereta itu.
Braaakkkk...
Sepatuku tergelincir di lantai yang licin. Kepalaku terbentur pada sebuah besi pembatas di dekat stasiun. Darah! Darah mengucur dari kepalaku. Tiba-tiba orang-orang berkerumun. Masku keluar dari wartel. Kaget dan langsung membopongku. Aku dan mas naik becak  menuju rumah sakit terdekat. Sebelum becak melaju, seorang lelaki setengah baya melepaskan topi dari kepalaku. Meletakkan sebongkah es batu di topi itu. menyuruh masku terus menekankan es batu itu pada kepalaku sampai rumah sakit. Katanya agar pendarahannya berhenti. Anehnya aku tidak menangis. Aku hanya diam. Kata orang-orang aku mungkin syok. Selama perjalanan masku terus berdoa. Kulihat air matanya mengalir. Cahaya ketulusan dan kasih sayang terpancar dari mata kakak laki-lakiku. Tak terasa air mataku akhirnya ikut tumpah. Bukan karena rasa sakit. Tapi karena kasih sayang masku. Mungkin itulah yang dinamakan terharu, atau ikatan persaudaraan barangkali.
***

Jeglek...
Aku tersentak. Rupanya kereta sedang berhenti di salah satu stasiun. Kulihat Mba Utha masih terlelap di sebelahku. Kuraba dahiku. Jahitan itu masih ada. Jahitan berbentuk huruf H di kepalaku. Sisa kenangan bersama mas waktu itu. Kadang ingatan masa kecilku tiba-tiba muncul kembali saat aku bercermin, ketika tak sengaja kulihat bekas jahitan itu.
“Mas... Mas... bentuk jahitannya seperti huruf H. H untuk Handoyo,” kataku pada mas sambil meringis. Itulah yang kukatakan pada mas setibanya kami di rumah. Bahkan sempat kupamerkan jahitan itu pada ibukku. Dan tentu saja aku tidak jadi naik kereta. Aku sedih, tapi aku juga senang. Kadang lelaki tak bisa mengucapkan kata cinta. Tapi cinta itu bahkan terlihat tulus lewat perbuatan kecil atau bahkan hal konyol yang dilakukannya pada orang yang disayangi. Seperti bapak dan mas-masku. Karena cinta yang tak diucapkan juga tetap cinta.


Komentar

  1. Terjawab,
    Judul yg bagus.. Dua belas.

    Ratna, tulisanmu keren dan unik..hehe

    BalasHapus
  2. terima kasih. ayo kutunggu tulisan Mas Hendro. Aku baru baru ini aja berani publish tulisan di blog. terinspirasi dari teman-teman yang luar biasa. teman-teman tulisannya jauh lebih bagus dari ini. Bahagianya aku hohoho

    BalasHapus
  3. Iya sih, teman2 flp kita nginspirasi kita ya.. Mmbuat smangat buat publish blog lg, sgera bikin blog baru kayaknya..hehe

    BalasHapus
  4. Keren sakali. Ringan dan mudah dipahami

    BalasHapus
  5. Terma kasih sudah disempatkan membaca Mas Oky, jangan lupa baca lanjutannya ya... :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Hai, Kawan. Kamu bisa tinggalkan komentar, bila kamu suka tulisan ini yaaa ... :) Terima kasih sudah membaca.

Postingan populer dari blog ini

Sinopsis Film Pesantren Impian

Cara, Syarat, dan Biaya Perpanjang SIM di SIM Corner Praxis Surabaya (KTP Luar Kota)

Bebas! Buat Resolusi Sesuka Hati