Dua Belas (Perjalanan Tanpa Batas : Sebuah Pertemuan)
#5
Sebuah Pertemuan
Hidup
memang melelahkan. Membosankan. Tapi selalu ada orang-orang yang bersyukur. Menerima
hidup begitu saja. Tanpa mengeluh. Mereka itu kadang tidak tahu masalah apa
yang dihadapi. Apalagi ngurusi masalah
negeri ini yang panjangnya lebih dari panjang ular tangga. Lebih dari sekadar
panjang bukan kepalang. Mereka tidak benar-benar tahu bagaimana polemik beras
impor, kedelai impor, freeport,
kerusuhan-kerusuhan lainnya yang disebabkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Ketimbang memikirkan
peliknya masalah negeri yang tiada habisnya, pikiran mereka justru terbatas
pada hari esok. Besok harus bangun pagi. Lebih pagi dari ayam jago berkokok.
Menyalakan tungku. Pergi ke sawah. Menyapa tetangga. Pulang ke rumah sore hari
setelah seharian di sawah. Meluruskan kaki yang pegal dan mengolesinya dengan
minyak gosok. kemudian mengulangi rutinitas yang sama esok harinya.
Kehidupan
desa.
Aku
juga orang desa, sebelum akhirnya memilih mencicipi kehidupan orang kota. Setiap
pagi ibuk selalu membangunkanku untuk membersihkan diri dan salat Shubuh. Selesai
salat selalu kulihat hidangan telah tertata rapi di atas meja.
“Makanlah Na, selesai makan jangan
lupa bereskan piringmu. Segera berangkat sekolah,” ia tinggalkan uang receh lima
ratus rupiah di atas meja untuk uang sakuku. “Pulang sekolah jangan lupa makan
siang,” lalu ibu beranjak pergi setelah aku mencium tangannya.
Aku hanya mengangguk dan menurut.
Aku tak pernah tahu kapan ia bangun. Kapan ia memasak. Semua seakan bimsalabim
bagiku. Setelah menyelesaikan tugas memasaknya, ibuk selalu berangkat ke sawah.
Sedikit aku ketemu ibuk di pagi hari dan ia akan pulang menjelang sore. Malam
hari sesekali ia menemaniku belajar. Membantu menjawab tugas sekolah, meski tak
selalu benar. Ibuk hanya lulusan Madrasah
Ibtidaiyah. Sewaktu melahirkanku usia ibuk sudah empat puluh tahun. Menjawab
soal-soal sekolahku Ibuk kadang juga bingung. Usianya semakin tua. Tapi raut
wajahnya jauh lebih tua dari usianya. Sejak kecil ia terbiasa bekerja keras. Aku
tahu, ibuk dan bapak bekerja keras untuk anak-anaknya. Waktu itu di kampung
kami, hanya anak-anak Pak Lurah dan anak-anak orang tuaku yang berhasil
menamatkan sekolah sampai jenjang sekolah menengah atas. Sedangkan anak-anak
lainnya hanya sampai SMP atau SD. Sementara aku waktu itu masih duduk di Madrasah Ibtidaiyah. Ibuk tak ingin anak-anaknya seperti dirinya.
Ibuk ingin anak-anaknya menjadi orang sukses. Ibuk bilang, suatu saat aku juga
harus sekolah tinggi. Kalau bisa tidak hanya sampai SMA. Ibuk ingin aku lebih
dari itu. Agar bisa berguna dan membangun desa menjadi lebih baik.
Hah, aku bernostalgia lagi dengan masa lalu. Hari
ini, akan kujumpai kisah-kisah yang luar biasa.
Perjalanan travel writing sudah sampai pada hari kedua. Rencanya kami akan
mendaki badan gunung wilis menuju air terjun Ngelayangan di desa Kalipang,
Kediri. Setelah mobil berhenti, tentu saja kami semua sudah tidak sabar untuk
turun. Membawa perlengkapan yang dibutuhkan. Waktu masih menunjukkan pukul enam
kurang lima belas menit. Masih pagi. Di awal, perjalanan sudah sedikit
menanjak. Tanpa mengulur waktu kami bergegas. Di sepanjang jalan rupanya bukan
hanya rombongan kami yang berjalan. Dengan kaki yang terlihat kuat, rombongan
bapak-bapak yang nampaknya akan ke sawah mendahului kami.
“Monggo, atos-atos nggeh...,” sapa meraka dalam bahasa Jawa sambil
memeringatkan kami agar hati-hati saat berjalan.
Disusul kemudian rombongan ibu-ibu.
Kupikir kami sudah berjalan cepat. Rupanya mereka berjalan lebih cepat dari
kami. Sepertinya mereka sudah terbiasa. Kuamati setiap wajah yang melintasiku. Mereka
semua selalu menyapa dan tersenyum. Mereka seperti tanpa beban. Menikmati perjalanannya
ke sawah. Dengan langkah tegap mereka terus maju hingga aku kehilangan bayangan
mereka tepat di belokan depan. Ibuk, aku ingat Ibuk. Setetes air hampir saja
loncat dari ujung mataku.
Tak mau kalah dengan penduduk desa
yang bersemangat. Kami juga terus maju dengan semangat. Mendaki gunung lewati
lembah. Kanan kiri kadang sawah. Kanan kiri kadang jurang. Kalau tak hati-hati
kami bisa terperosok. Tak hanya para pejalan. Penduduk juga ada yang menaiki
gunung dengan motor. Bayangkan saja, mereka menantang jalanan yang
berkelok-kelok dengan motor tua.
Grrreeng... grreeng... grreeng...
begitulah bunyinya. Terkadang mereka terpeleset dan bangkit lagi. Memang jalanannya
tak terlalu menukik tajam, tapi tetap saja menanjak. Dan harus lebih hati-hati
saat musim hujan, karena tanah basah akan menjadi lumpur dan sangat licin untuk
dilewati. Ada satu hal lagi yang membuatku lebih bersemangat. Dalam perjalanan
kami ada tiga rangers kecil. Pejuang cilik.
Pendaki kecil. Dik Aisyah dan Dik Fabian yang usianya sekitar sembilan tahun,
juga Dik Hikam yang baru enam tahun. Mereka jauh lebih bersemangat dari kami
yang sudah bisa dibilang dewasa menurut usia. Saat jalanan sedikit licin, tiga
bocah itu saling mengingatkan dan saling membantu. Dik Aisyah menolong Dik Hikam
yang hampir terpeleset.
“Ayo
Aisyah... di depan,” kata Dik Hikam.
“Aku
aja yang di depan,” sahut Dik Fabian.
Yah akhirnya mereka berebut deh
siapa yang di depan. Itulah anak-anak. Lucu dan menggemaskan sekali tingkah
laku mereka. Kadang anak-anak juga bisa terlihat lebih dewasa dari orang dewasa
yang sesungguhnya. Dan orang dewasa, terkadang juga bisa jauh lebih
kekanak-kanakan dari anak-anak. Itulah kehidupan. Nikmati saja apa yang ada. Banyak-banyak
bersyukur.
Satu setengah jam berlalu. Kami istirahat
di sebuah bangku yang terbuat dari rangkaian bambu. Direkatkan dan menempel
pada pohon-pohon di sampingnya. Di sebelah kanan atas nampak spanduk
bertuliskan selamat datang di air terjun Ngelayangan. Menurut bapak-bapak yang
kami jumpai, rupanya perjalanan kami baru separuh untuk menuju air terjun.
Haissh... ternyata masih panjang. Jauh di dalam hutan sana masih banyak
rintangan yang harus kami hadapi. Tak perlu lama-lama beristirahat. Kaki ini
harus lekas bergerak kembali.
Beban-beban di pundak mulai terasa.
Tapi semua segera sirna saat melihat teman-teman yang bahagia dalam kelelahan. Saling
bahu-membahu saat ada yang terjatuh, terpeleset bahkan tersungkur. Tak jarang
kami lewati bekas tanah yang longsor. Tanah becek yang sempat membuat salah
seorang teman terpeleset berkali-kali. Juga jurang-jurang yang nampak curam
membuat khawatir setiap saat. Aku lapar tapi aku tidak lapar. Aku haus tapi aku
tidak haus. Rasanya rasa itu cuma perasaanku saja. Kata Mas Ari, di depan sana
nanti ada penduduk yang berjualan. Kami merasa ada secercah cahaya pertolongan
lewat kalimat itu. Mas Ari, memang sudah sering kemari. Jadi beliau sudah tahu
seluk-beluk hutan ini.
Tak jarang kami mendengar suara air
terjun. Terdengar begitu dekat. Kricik-kricik suara air sungguh menggoda. Tapi semua
itu seperti ilusi belaka. Apa yang telah kami dengar tidak lekas kami jumpai
meski sudah berjalan sejauh yang kami kira. Huh, kecewa deh. Tetap semangat! Setelah
berjalan berpuluh-puluh langkah, benar apa yang telah dikatakan oleh Mas Ari. Warung
itu benar-benar ada. Kami seperti menemukan surga di tengah hutan. Surga yang
menyediakan pelepas dahaga dan penunda lapar. He-he-he. Dengan cepat kami
menyergap warung itu. tapi entah kenapa aku tidak benar-benar merasa lapar
ataupun haus. Akhirnya aku hanya memesan segelas teh hangat. Aku hanya ingin
istirahat sejenak.
Sebuah warung di tengah hutan.
Semua materialnya atau bangunannya terbuat dari rangkaian bambu. Tidak seperti
rumah. Tapi lebih seperti tiang-tiang yang berjajar dan ditutup dengan atap. Itu
saja. Ada dua meja panjang yang juga terbuat dari bambu. Meja itu digunakan
untuk meletakkan dagangan. Ada mie instan, gorengan, air mineral, juga beberapa
renteng minuman instan, kopi instan dan juga teh. Penjualnya seorang ibu yang
tidak terlalu tua tapi juga tidak muda. Aku tak tahu namanya. Di dekatnya ada
dua anak lelaki yang masih kecil. Wajah mereka begitu polos. Setelah kutanya,
ternyata mereka bukan adik-kakak melainkan hanya saudara dekat. Lucu sekali
mereka itu. Namanya Dik Mursidi dan Dik Firman. Dik Mursidi kira-kira sebaya
dengan Dik Aisyah. Sedangkan Dik Firman masih kecil dan belum sekolah. Usianya
baru empat tahun. Dia mengenakan kaos warna oranye dan celana levis yang
bawahnya dilipat berkali-kali. Sebuah kalung
dari tali ia kenakan di lehernya. Terdapat sebuah lonceng kecil yang
menggantung di kalung itu. katanya, kalung itu pemberian dari masnya. Dia sayang
sekali dengan masnya. Mas, aku jadi teringat dengan masku juga. Baper nih, bawa
perasaan.
Warung di gunung hanya buka pada
hari Minggu. Dan setiap Minggu juga Dik Mursidi dan Dik Firman ikut berdagang. Meski
yang kulihat mereka hanya menemani ibunya. Anak yang baik, masih kecil sudah
menjaga ibunya. Kulihat teman-teman dengan lahap menyantap makanan sebelum kami melanjutkan perjalanan. Wajah
mereka cerah kembali setelah makan. Sebelum kami berpamitan, ada dua ibu yang
sudah tua baru datang. Mengisi dagangan pada meja yang masih kosong. Sebelum pergi, kusempatkan membeli sebungkus
kerupuk pada mereka. Kemudian kami berpamitan.
Mamam dulu di restaurant tengah hutan... hi-hi-hi |
coba tebak Ratna lagi sama siapa? Yep, Dik Firman dan Dik Mursidi |
Masih ada beberapa medan lagi yang
harus kami takhlukkan sebelum sampai tujuan akhir. Masih banyak jalanana licin,
curam, menegangkan yang harus kami lalui. Perjalanan masih kurang satu jam
lagi. Namun semua terbayar dengan pemandangan yang luar biasa. Di depan sana,
akhirnya sudah terlihat air yang terjun dari atas tebing. Banar-benar air
terjun! Bukan khayalan apalagi fatamorgana. Lebih bersemangatlah kami. Hampir sampai.
Sedikit lagi. Semangaaat....
Yey... bisa dibilang kami rombongan pertama yang datang ke air terjun setelah rombongan para pedagang. Di area air terjun ada empat warung seperti warung yang kami jumpai sebelumnya. Para penduduk sedang menata dagangan mereka. Sementara kami langsung menyerbu air terjun dengan bahagia. Tak peduli lagi mau basah atau kuyup sekalipun. Kami akan basah sebasah-basahnya. Bahagia sebanyak mungkin. Dan bersyukur seikhlas mungkin. Maka nikmat Tuhan yang manakah yang engkau dustakan! Tebing dengan batu-batuan yang tak tertata rapi memberikan efek bagus dengan guyuran air dari atas sana. Sebuah kolam alami di bawahnya akan menampung air yang berjatuhan. Mengalir lewat celah-celah batu membentuk anak sungai. Ke bawah dan terus ke bawah. Pemandangan alam yang luar biasa. Hijau. Segar. Asri. Pemandangan yang tak bisa kujumpai di Surabaya. Kuhanyutkan tubuhku di bawah kucuran air terjun. Kubiarkan ia menghujaniku. Membasahi seluruh bajuku. Tak peduli baju kering yang mana nanti yang akan kupakai. Kurasakan air itu menampar pipiku. Sejuk. Aku puas.
Cukup main-mainnya. Nanti masuk
angin kalau lama-lama basah. Rombongan lain juga sudah mulai berdatangan. Air terjun
jadi semakin ramai. Ada rombongan bapak-bapak, pemuda-pemudi, keluarga, juga rombongan
yang seperti kami juga ada. Perutku sudah mulai lapar. Kuajak Mba Dina membeli
beberapa gorengan di warung. Di tempatku
berdiri waktu itu... di sebelah kananku warung dengan penjualnya (mungkin)
sepasang suami istri. Di sebelah kanannya, penjualnya seorang bapak-bapak. Agak
di depanku, penjualnya seorang wanita muda yang sempat kami jumpai saat
perjalanan. Ketiga warung itu sudah dipenuhi oleh beberapa pengunjung air
terjun. Sedangkan warung di sebelah kiriku masih sepi. Tak ada satu pengunjung
pun. Akhirnya aku mengajak Mba Dina ke warung di sebelah kiriku. Sang penjual
menyambut kami dengan senyum hangat, dan kami membalas dengan senyum kedinginan
sambil sedikit meringis. He-he.
Seorang nenek tua yang sudah renta
melayani kami. Membuatkan dua gelas teh hangat yang kami pesan. Di dalam
warungnya terdapat sebuah tungku yang masih menyala. Sebuah panci yang luarnya
sudah menghitam legam bertengger di atasnya.
“Mbah... numpang menghangatkan diri nggeh,”ucapku pada wanita tua itu. sementara Mba Dina memilih duduk
di kursi bambu sambil menikmati sepotong singkong goreng.
Aku mendekatkan diri pada tungku
sambil memasukkan kayu bakar di sebelahnya sedikit demi sedikit. Si Mbah yang sedang mengaduk gula di dalam
teh kemudian kuajak bercakap-cakap. Rupanya Si Mbah yang punya senyum manis ini, menjawab setiap rentetan
pertanyaanku dengan sabar dan santai. Namanya Mbah Jami’. Mbah Jami’,
nama itu langsung mengingatkanku pada nama masjid yang kami singgahi tadi
malam. Seperti penjual lainnya, Mbah Jami’
juga hanya berjualan pada hari Minggu saja. Karena memang hari Minggu yang
paling ramai pengunjung. Mbah Jami’
hidup seorang diri, tanpa suami dan anak-anak. Ia bilang usianya baru enam
puluh lima tahun, tapi tubuhnya sangat jauh lebih tua dari usianya. Di balik
kulitnya yang sudah mengkerut itu, ia memiliki jiwa yang masih kuat. Hati yang
ikhlas. Aku bisa melihat ketulusan dari sinar matanya. Di usianya yang sudah
renta, ia bahkan masih ke sawah setiap hari untuk menyambung hidup. Berangkat pagi
pulang sore berjalan kaki dengan jarak rumah dan sawah yang jauh.
Aku kemudian mengamati panci di
depanku. Tutupnya miring. Aku bermaksud membetulkan letaknya. Kupikir isinya
adalah rebusan air. Ternyata bukan. Di dalam panci terdapat wadah dari bambu.
Isinya adalah beras yang hampir menjadi nasi. Mbah Jami’ sedang memasak nasi untuk sarapan. Sudah hampir pukul
dua belas, Si Mbah bahkan belum
sarapan. Dua buah rebung – tunas bambu – yang terletak di sebelah tungku akan
ia masak menjadi kudapan sebagai lauk yang akan menemani nasinya. Dengan makanan
seadanya, ia tetap bersyukur dan sama sekali tak mengeluh. Aku jadi ingat
orang-orang di luar sana, bahkan terkadang diriku sendiri yang suka pilih-pilih
makanan. Makan selalu bersisa. Tak bersyukur dengan apa yang ada. Padahal masih
banyak orang-orang yang lebih pandai bersyukur dalam kehidupan yang sangat
sederhana. Astaghfirullah... ampuni
kami Yaa Allah.
Sebuah pertemuan, bukan tentang apa
atau dengan siapa kita bertemu. Tapi bagaimana kita bertemu dengan mereka. Setiap
perjalanan selalu memiliki makna. Sebuah perjalanan tidak hanya sekadar
mengukur jarak tempuh atau berapa lama kita melewatinya. Tapi bagaimana kita
mampu menyatukan hati dan membaur dengan orang-orang di sekitar kita. Bahkan orang-orang
yang baru kita kenal sekalipun. Justru orang-orang itulah yang nantinya akan
memberikan kenangan pada kita. Bisa jadi mereka juga yang lebih bisa memahami
makna kehidupan ketimbang kita. Buka mata, untuk melihat apa yang mereka
lakukan. Buka telinga, untuk mendengarkan apa yang mereka ceritakan. Dan buka
hati, untuk ikut merasakan apa yang mereka rasakan. Sebuah pertemuan, meski
selalu diakhiri dengan perpisahan... akan tetapi kita bisa isi ruang kosong di
dalamnya untuk berbagi kebahagiaan pada orang lain. Meski hanya duduk, menekuk
kedua lutut, meletakkan kedua telapak tangan di pipi, kemudian dengan ikhlas
mendengarkan cerita-cerita mereka.
***
terima kasih masih mau membaca... pengen tahu akhir cerita ini... baca disini yuk http://lieberatna.blogspot.co.id/2016/02/dua-belas-perjalanan-tanpa-batas-pulang.html
terima kasih masih mau membaca... pengen tahu akhir cerita ini... baca disini yuk http://lieberatna.blogspot.co.id/2016/02/dua-belas-perjalanan-tanpa-batas-pulang.html
Hidup memang tentang bagaimana kita mampu berbagi, saling memberi arti dan kebermanfaatan, juga indahnya saling menyayangi.
BalasHapusIya Dina... ich liebe dich pokoknya. Makasih ya
BalasHapus