Dua Belas (Perjalanan Tanpa Batas : Surawana)


#3 Surawana
Stasiun Kediri
Kediri... Kediri...
Petugas kereta berjalan menyusuri gerbong demi gerbong. Mengingatkan para penumpang agar bersiap-siap. Kereta sebentar lagi akan langsung berhenti di stasiun Kediri. Akhirnya perjalanan di kereta akan selesai. Tubuhku sedikit lelah setelah empat jam duduk. Perjalanan sesuai jadwal. Kami tiba di stasiun Kediri setengah sembilan. Dengan melalui banyak hal, kereta kami berhenti berulangkali di stasiun-stasiun, atau hanya sekadar berhenti karena harus ganti kepala dan juga berhenti hanya karena untuk menunggu dan mempersilakan kereta eksekutif melaju lebih dulu. Maklum, kereta ekonomi harus mengalah yaaa. Mengalah bukan berarti kalah.
            Setiba di stasiun, kami menyusuri jalan mencari pintu keluar.
“Becak Mba, Mas...”
“Mau dianter kemana?”
Kadang ingin kujawab, mau diantarkan ke jodoh Pak, He-he. Tapi yang keluar dari mulut...
Maturnuwun Pak, sudah ada yang jemput.”
Banyak sekali bapak-bapak yang menawarkan jasanya. Semua berebut menawarkan diri untuk mengantarkan kami ke tujuan selanjutnya. Kaki-kaki kami dengan sopan meninggalkan bapak-bapak tadi. Sementara cacing-cacing di perutku terbangun dari tidurnya. Rupanya bukan hanya aku, teman-teman yang lain juga sudah mulai lapar. Sambil menunggu mobil travel yang akan menjemput, kami makan pecel di pinggir jalan Dhoho Kediri. Nikmat sekali rasanya. Teh angetnya juga mantab. Cacing di perutku sudah kenyang kegirangan. Alhamdulillah...
Tak lama kemudian, mobil travel kami datang beserta keluarga FLP yang di Kediri, Mba Wuri, Mas Ari dan anak mereka Dik Fabian.Setelah itu kami melanjutkan perjalanan. Setelah berdiskusi dengan sang pemilik Kediri, kami melaju menuju daerah Pare. Tujuannya ke Goa Surawana dan Candi Surawana. Perjalanan sekitar satu jam. Sebagian dari kami tertidur di dalam mobil. Sisa-sisa kelelahan dari kereta nampaknya masih mengikuti. Termasuk aku. Mataku terbuka sedikit. Kupicingkan pada jendela mobil
            Disewakan celana pendek Rp3.000,00
            Hah? Sewa celana pendek? Untuk apa... pikirku. Tulisan di papan terpampang nyata. Setelah itu mobil sudah sampai di area parkir goa Surawana.  Semua orang turun dari mobil. Di dekat pintu masuk goa nampak beberapa orang berjualan celana pendek dan makanan. Setelah infaq masuk goa, kami mengamati keadaan sekitar. Dimana goanya? Yang ada hanya tanah datar dan beberapa tumbuhan semak, perkumpulan bambu dan pohon-pohon. Aih ternyata goanya di bawah tanah. Ada lubang agak besar di tanah. Isinya air. Untuk menuju ke bawah, sudah ada tangga di sisi kanan. Ada dua pintu masuk menuju goa. Dari atas tampak sebuah pintu yang ditutup dengan pagar besi. Sedang pintu yang akan kita masuki adalah pintu yang berada di depannya. Tepat di bawah tangga dan tidak terlihat dari atas. Kolam pertama cukup dalam – sedada orang dewasa. Aih, pantas saja ada persewaan celana pendek. Rupanya goanya penuh dengan air. Airnya sungguh jernih. Ada ikan-ikan kecil di dalamnya. Untuk menyusuri goa, harus didampingi dengan pemandu. Karena panjang goa sekitar 250 meter dengan banyak cabang di dalamnya. Dengan pemandu, kami punya penunjuk jalan. 
Gambar tampak atas : Goa Surawana, goa bawah tanah.
            Di dalam gua sangat gelap gulita. Butuh senter agar bisa melihat. Air selalu menemani kami di sepanjang perjalanan. Goa Surawana memiliki lima pintu. Tapi kami hanya akan melewati empat pintu saja. Karena katanya, pintu kelima menuju arah sungai yang berbahaya. Hitam gelap, bersyukurlah jika Allah telah memberi kita mata untuk melihat. Gunakan mata hanya untuk melihat hal-hal yang baik saja. Tapi kadang gelap mampu memberikan ketenangan. Aku bahkan pernah berharap berkawan dengan gelap. Bebas dari segala hal yang kadang memuakkan. Namun ketika kudapati secercah cahaya di ujung goa, rasanya hidup akan lebih indah jika bewarna, pikirku. Seperti aku dan mereka, teman-teman seperjuangan. Kami terdiri dari berbagai warna. Menyatukan diri bahkan menjadi lebih indah dari pelangi. 
Berkat bantuan cahaya kamera, hitam pekat lenyap sesaat
 
Menyusuri goa dengan sisa-sisa cahaya :)
            Perjalanan di goa tak selalu mulus. Seperti halnya hidup, kadang harus berliku, susah payah untuk mendapatkan yang terbaik. Batu besar, kerikil tajam, dinding-dinding yang menyempit adalah rintangan yang harus kami lewati demi sebuah pencapaian. Berjalan bersama membuat perjalan semakin akrab. Lebar goa ini tak terlalu besar. Kalau saja badanku mengembang lebih dari sekarang, mungkin aku tak akan bisa membersamai mereka menyusuri goa. Bersyukurlah aku, memiliki tubuh yang langsing versi Ratna. He-he-he. Ada tiga cara melewati goa ini. Berjalan tegak, merunduk dan terakhir sedikit berjongkok. Semakin dalam, tinggi goa semakin menyempit. Sesekali kepalaku menyundul atap goa. Sakit. 
Move on dari kegelapan
Masih basah kuyup, kami memutuskan keluar dari area goa. Setelah istirahat dan sedikit berjemur. Saat istirahat kami bertemu dengan bapak-bapak penjaga toilet. Aku tak tahu namanya, yang kutahu bapak ini gemar membaca. Setiap hari koran menjadi santapan rutin. Bapak ini juga menyukai kegiatan berbau literasi. Beliau bercerita banyak pada kami. Juga bercerita sedikit tentang goa Surawana. Katanya, Sura berarti ikan dan wana berarti hutan. Dahulu kala goa digunakan sebagai jalan pintas oleh seorang pangeran untuk menculik putri. Namun sang Pangeran akhirnya gagal menculik Putri karena terhalang oleh sumber air yang mengalir deras. Bahkan, saat jaman revolusi, goa tersebut juga pernah dipakai tempat persembunyian dari Belanda. Dan sampai sekarang, di pintu selatan masih sering digunakan sebagai upacara ritual saat malam hari. Setelah dari goa, kami melanjutkan perjalanan ke candi Surawana. Jaraknya sekitar 300 meter dari goa. Terletak di desa Canggu, Pare-Kediri. Candi yang merupakan peninggalan kerajaan Majapahit ini telah diperkirakan ada sejak tahun 1400 masehi. Sungguh tua! Berdasarkan relief ceritanya, candi Surawana ini berlatar belakang agama Hindu. Candi ini berdenah bujur sangkar menghadap ke barat dan memiliki tinggi sekitar lima meter. Di bagian kiri candi membentuk anak tangga yang dapat dipakai untuk menaiki candi. Dari atas candi kita bisa melihat pemandangan dengan leluasa. Sungguh mengesankan.
Candi Surawana tampak samping

Candi Surawana tampak depan
Pemandangan di depan candi Surawan

***

Dibuang sayang; berkawan dengan kegelapan membuat lapar dan haus
  


jangan bosan berkunjung ya... kisah ini masih berlanjut he-he cekidot http://lieberatna.blogspot.co.id/2016/02/dua-belas-perjalanan-tanpa-batas_28.html

Komentar

  1. Ditunggu cerita selanjutnya mbak Rat ... =)

    BalasHapus
  2. terima kasih sudah disempatkan membaca, Mba Fahr... otw ya he-he

    BalasHapus
  3. bagus, aku suka , banget sama kamu

    BalasHapus

Posting Komentar

Hai, Kawan. Kamu bisa tinggalkan komentar, bila kamu suka tulisan ini yaaa ... :) Terima kasih sudah membaca.

Postingan populer dari blog ini

Sinopsis Film Pesantren Impian

Cara, Syarat, dan Biaya Perpanjang SIM di SIM Corner Praxis Surabaya (KTP Luar Kota)

Bebas! Buat Resolusi Sesuka Hati