Aku Juga Ingin Mencintainya
Ada satu hal yang sangat kudambakan sampai saat ini. Ada satu
doa yang kuselipkan yang belum sempat terealisasi. Percayalah, selalu kukatakan
padaNya bahwa aku juga ingin mencintainya. Mencintai dia dengan sepenuh hati. Tanpa
ada rasa takut ataupun was-was. Bahkan aku ingin sekali memilikinya. Tahukah engkau,
betapa terkadang hati ini iri melihat mereka-mereka yang bisa dengan mudah
menyayanginya, mengasihinya, bahkan mereka mampu memeluknya. Pun aku ingin
seperti mereka. Bisa dengan leluasa bercanda dan bermain dengan binatang
kesayangan Rasullullah itu.
Mereka bilang aku gadis manja, “kemenyek”, penakut, dan
kata-kata sebangsanya, lantaran bertemu dengan seorang kucing saja air mukaku
langsung berubah. Seandainya mereka tahu, betapa aku juga ingin menyanyangi. Bahkan
aku juga ingin memeliharanya. Lalu siapa yang harus kusalahkan? Ketika hidung
ini selalu gatal dan bersin-bersin saat di dekat kucing. Ketika kakak
perempuanku juga tak bisa berdekatan dengan kucing. Hingga akhirnya dia membagi rasa takut itu padaku. Bahkan sedikit ingatan masa
kecil yang terbesit, aku pernah bahagia bahwa aku pernah memiliki celengan
berbentuk kucing. Entah darimana celengan itu, namun ketika kakak perempuanku
pulang dari perantauannya, ia langsung membuang celengan itu saat melihatnya. Aku
ingat, aku menagis saat kehilangan celengan itu. entah pengalaman buruk apa
yang pernah ia dapat dengan kucing hingga ia begitu takut dengan hewan
yang katanya lucu itu.
Lalu apakah aku juga harus menyalahkan kenangan masa kecil
itu? Ketika senja mengintip di balik menara masjid di dekat rumah, aku dan
beberapa teman membawa peralatan salat menuju masjid. Kami kumpulan anak kecil
yang gemar datang ke masjid sebelum matahari benar-benar pulang ke peraduannya.
Kami kumpulan anak kecil yang benar-benar meramaikan masjid. Ramai dalam arti
yang sebenarnya. Kami yang waktu itu begitu senang sekali bermain di masjid
sebelum adzan maghrib tiba. Aku masih ingat benar, ada sebuah halaman kecil di
depan masjid. Sebuah beranda yang menghadap ke sawah. Hamparan padi yang masih
hijau setia menjadi pemandangan yang menenangkan. Kami berlarian di beranda hingga kemudian seorang teman begitu usil dengan seekor kucing yang
tiba-tiba datang di acara bermain kami. Entah apa yang temanku lakukan, kucing
itu marah dan tiba-tiba menyerangku. Sayatan dari kuku kucing itu dengan
mulus mendarat di betisku. Engkau pasti bisa menebak apa yang selanjutnya
terjadi. Yap, sebagai anak kecil yang cengeng, air mataku dengan lancar
membasahi pipi, mulut yang tak berhenti menyalahkan temanku itu, lalu pulang
dan berjanji melaporkannya pada ibu. Huft, aku bahkan senyum-senyum sendiri saat menuliskan kisah ini. Kisah masa lalu yang tak akan pernah tergantikan. Sejak
saat itu, tidak hanya hidung yang bersin, ataupun karena aku ditakut-takuti
oleh saudaraku dengan kucing. Tapi pengalaman itu juga mempengaruhi
psikologisku.
Sejak tujuh tahun lalu bahkan sampai sekarang aku sudah
mencoba mendekatinya. Aku tidak ingin takut lagi padanya. Berbagai cara sudah
kucoba. Atas izinNya, sejak dua tahun lalu alergiku pada bulu ataupun kucing
perlahan mulai hilang. Syukur Alhamdulillah. Namun anggota tubuhku masih belum
bisa menyentuhnya. Ada rasa yang tidak bisa kujabarkan. Rasa yang membuatku
tersiksa. Aku ingin menyentuhnya, aku ingin mencintainya, aku ingin
memilikinya. Tetapi masih ada sekat tipis di antara kami. Aku hanya bisa melihatnya dari jauh saat ini. Semoga... yah semoga
kami lekas berjodoh. Aamiin.
#18 Ramadan 1437 H
![]() |
Hai Bob, terima kasih untuk pertemuan kita |
#18 Ramadan 1437 H
Wah wah wah, takut kucing ternyata.
BalasHapusHai Bob, terima kasih atas pertemuan kita :D
Waduh, Bapaknya Bob datang.
Hapus#Saya(belajar)TidakTakut