Aku, Kamu dan FLP: Kujemput Hidayah Karena MengenalMu
Oleh:
Ratna W. Anggraini
Pernah
dengar istilah “writing for healing”? Atau bahkan kamu baru membaca kalimat itu
pada tulisan ini? Bagi saya kalimat tersebut benar adanya, menulis untuk
penyembuhan. Apa itu artinya seseorang harus sakit dulu agar bisa menulis?
Tidak! Namun ada beberapa orang yang harus berjuang untuk sembuh dengan cara
menulis. Sembuh dari sakit yang kadang tak bisa terprediksi oleh dokter, sakit
yang tidak bisa terlihat oleh orang lain, sakit yang seolah hanya bisa
dirasakan oleh diri sendiri. Ketika diri sendiri merasa depresi, tertekan oleh
sebab tertentu yang tak ingin orang lain tahu. Sebab terkadang bila orang lain
tahu, tidak akan menyembuhkan, bahkan akan menambah luka yang tak nampak tapi
terasa. Mungkin hanya akan ada dua puluh persen dari orang yang berinteraksi
dengan kita yang peduli, sisanya entahlah. Dari keresahan itulah sehingga
menulis menjadi salah satu cara mengobati diri. Tidak banyak orang yang
melakukannya. Tapi saya melakukannya.
Ada
banyak hal yang membuat seseorang resah dan memilih untuk berkawan dengan
dirinya sendiri. Peristiwa perceraian, hubungan keluarga yang tak harmonis, bullyan di masa kecil, merasa terasing,
bahkan kekecewaan akan kepercayaan yang terpatahkan. Keresahan-keresahan
semacam itu, hampir pernah saya rasakan sejak kecil. Ingin cerita, tapi tak ada
ruang untuk saya, tak ada pundak untuk bersandar. Suara si kecil semakin kecil
tak terdengar. Yang terlihat saat itu hanya buku tulis dan pensil. Akhirnya semua
perasaan tumpah ruah ke dalam lembaran putih bergaris. Kalimat-kalimat tersusun
menjadi deretan paragraf. Hingga pada titik terakhir saat pensil terdiam, mata
membaca kembali hasil tulisan yang sudah jadi. Bibir membaca kembali lembaran
yang berisi kisah-kisah curahan hati yang penuh amarah, kesedihan dan semua
emosi yang tertuang. Rasanya lega. Namun ternyata rasa lega itu hanya bertahan
sesaat. Beberapa hari setelahnya, muncul kekhawatiran, “bagaimana kalau
seseorang menemukan tulisan ini lalu membacanya, mereka pasti akan menertawai
saya tentang kisah-kisah ini, karena semua kelemahan saya ada di sini” begitulah
hati ini berkata. Lalu saya robek kertas itu, pergi ke dapur mencari korek dan
membakarnya. Semua kesedihan saya lenyap dan hangus menjadi abu. Saya menemukan
cara yang saat itu saya anggap mengurangi rasa sakit saat saya resah. Tulis,
sobek, bakar, begitu seterusnya.
Hal itu berlanjut hingga remaja, saya lebih sering
menghabiskan diri dengan buku dan buku. Pernah saya mengikuti beberapa kegiatan
ekstrakulikuler sekolah, silat, basket, pramuka, kerja ilmiah remaja, rohis, namun
hal-hal tersebut hanya menjadi pelampiasan sesaat. Akhirnya saya kembali
menyendiri. Hingga akhirnya ketika kuliah, saya mendapatkan hadiah beberapa
buku dari kakak saya. Buku yang menceritakan tentang kisah orang-orang yang
berhasil melawan rasa takutnya. Dan
beberapa buku inspiratif yang seolah
kisah di dalamnya seperti menceritakan tentang diri saya. Bagaimana orang bisa
mengumbar emosi, kesedihan dan mungkin aibnya dalam sebuah buku tanpa takut pembaca
akan menghakiminya? Saya temukan satu fakta sekaligus pesan dalam buku itu,
sang penulis berani menulis kisahnya bahkan untuk banyak orang ternyata hanya
agar orang lain tidak merasakan apa yang ia alami. Dari situ hati saya sedikit
terbuka. Saya ingin menulis lagi. Saya cari di internet komunitas-komunitas
menulis. Banyak sekali saran yang muncul, namun tak ada satu pun yang menarik
perhatian saya. Lalu saya mencoba memilih satu dan bergabung di komunitas
menulis tersebut. Saya mengenal beberapa orang, saya menulis lagi, saya
berorganisasi, mungkin untuk kali pertama. Tapi jiwa saya belum tenang, masih
ada yang kurang. Sampai suatu ketika, komunitas saya itu membuat acara dan
mengundang seorang pembicara, seorang pemuda yang juga satu komunitas dengan
saya. Pemuda itu tidak banyak bicara, namun sekali bicara seakan apa yang ia katakan langsung ngena di hati. Kadang mendengar petuah-petuahnya yang tidak menggurui tapi santun membuat diri ini membenarkan dan mengiyakan apa yang dikatakan. Sebuah petuah yang sarat akan nasihat. Ternyata pemuda itu anggota
dari Forum Lingkar Pena (FLP). Saat menjadi pembicara, ternyata pemuda itu
membawa beberapa temannya. Beberapa perempuan dan laki-laki. Mereka terlihat
berbeda. Para perempuannya memakai kerudung lebar, ramah. Saat itu saya masih
merasa aneh dengan gaya berpakaian mereka bila dibandingkan dengan saya yang
memang sudah berhijab tapi kain seadanya. Asal rambut tak nampak, tapi gaya
masih radak tomboy. Mereka menjaga cara bersalaman, tidak menyentuh orang yang
bukan mahramnya. Para laki-lakinya tidak merokok. Kebetulan saya tidak suka
dengan perokok, sebab pernapasan saya sangat sensitif dengan bau rokok.
Beberapa kawan penyair di beberapa tempat yang saya kenal, menganggap rokok
sebagai teman inspirasi mereka. Saya tidak membenci mereka, hanya saja saya
tidak suka saat mereka merokok. Hehe. Tapi teman-teman FLP ini beda. Saya telusuri
lagi semua tentang FLP di internet. Saya menemukan fakta yang menakjubkan. FLP
adalah satu-satunya forum yang berani membawa embel-embel “islam” sebagai salah
satu pilarnya. Di situ saya semakin mantap. Ini beda. Saya harus coba. Ditambah
lagi, milad FLP sama dengan milad saya, di situ saya merasa kegirangan dan
seolah-olah berjodoh dengan FLP meski belum menjadi bagian darinya. Saya ingin
mendekat ke mereka. Mereka bilang FLP
akan mengadakan pendaftaran anggota baru. Saya mencoba ikut, tak saya
sia-siakan kesempatan ini.
Saya mendaftar sebagai calon anggota FLP Surabaya
saat itu. Di saat di komunitas lain saya bisa dengan mudah menjadi anggota,
ternyata di FLP tidak semudah itu. Ada rangkaian pembinaan dan seleksi yang
harus dijalani, tidak asal bisa menulis dan atau punya karya, tapi lebih dari
itu. Mereka menyeleksi calon anggota dari kedisiplinan, cara menghargai waktu,
menepati janji dan segala hal yang membuat saya semakin ingin menjadi
anggotanya. Hampir enam bulan lebih saya mengikuti pembinaan, baru menjadi
calon anggota saja, saya seperti mendapatkan hidayah. Perlahan ada sedikit
perubahan pada diri saya, dari cara bersikap, cara berpakaian, saya seolah
menjadi pribadi yang baru. Mereka tak pernah mendikte atau memaksa saya
berubah, tapi mereka membawa aura baik yang membuat saya mau menjemput hidayah.
Tak hanya ilmu menulis tapi banyak sekali kebaikan yang saya dapatkan. Saya
merasa seperti mendapatkan keluarga kedua. Hal-hal yang tidak saya dapatkan di
keluarga saya sendiri, dilengkapi oleh keluarga FLP. Dulunya saya takut menulis
untuk orang lain, saya hanya menulis untuk diri saya sendiri. Takut tulisan
saya tidak bermanfaat dan justru malu-maluin. Tapi sekarang, saya pun masih
berproses. Di FLP saya belajar berbagi, kebaikan, dan belajar bahwa hidayah
haruslah dijemput. Tahun ini milad FLP yang ke-21, itu artinya sudah hampir
empat tahun saya menjadi bagian dari FLP. Bukan waktu yang lama memang, karena
masih banyak teman-teman yang bahkan sudah di FLP belasan tahun. Namun, dalam
empat tahun ini saya merasakan banyak perubahan baik di diri saya yang secara
langsung maupun tidak, karena dukungan dan doa dari teman-teman FLP. FLP
teruslah menebar kebaikan. Selamat Milad untukmu. Karena mengenalmu, saya beranikan
diri untuk menjemput hidayah. Semoga saya bisa istiqomah.
Dan karena FLP kita jadi kenal ya, Na. Hehe..
BalasHapusEh, aku kok gk bisa ngikuti blog ini ya...
Di mana tombolnya? Gk nemu..😂
Iya hehehe :)
HapusMba Fitri yang cantik dan anggun. .
Tapi bukan cuma perasaan, kenyataannya FLP memang beda ya, Mbak Na. Nuansa keislaman yang membuat kita bertahan. Bismillah.
BalasHapusIya ih, makin lama makin nyaman. Makin lama tambah nyaman... :)
HapusAamiiin. Barakallah Ratna
BalasHapusJazakillah Mba Hiday yang keren, yang sering keliling luar negeri. ..moga bisa nyusul :)
HapusMasya Allah...Ratna yang kukenal ternyata pernah 'tomboy' ya...hehehe...semangat, Na! Dalam dari bocil Hanif untuk ammah Ratna yg sholihah, smg makin sholihah ya ammah...😊
BalasHapusHehehe jiwa tomboynya kadang masih suka muncul. Wkwk.. Salam balik buat si sholih Hanif... Aamiin Aamiin doanya
HapusMenulis untuk penyembuhan? Pernah dengar sih mbak. Sembuh dari galau, kasmaran atau ingin sms seseorang. Hehehe ..
BalasHapusUsai menulis lega deh, galau lenyap seketika, resah berubah menjadi indah.
Sukses selalu mbak Ratna. Aamiin ...
😊😊😊
Iya Bu Nur, heheh... Suka nulis diary kalau lagi galau
Hapusmbak ratna keren...
BalasHapusaku ingat pertama kali kita ketemu di flp sby.. sampean welcome sekali,
padahal kita ga pernah ketemu...
baarokallahu fiik...
kapan kapan kalau hiking ajak ajak yaaa... :)
Hayuk mbak. ..malam ini berangkat hiking akuh... Hwehwhwe
HapusSelamat ya ratna,, majuu teruss ;))
BalasHapusSalam hangat dari pulau seberang
See you again, Ratna & Flp
#temanSeangkatan