Kisah Bayi Ungu Terong (part I)


Sekitar 23 tahun yang lalu, ada kisah seorang bayi dilahirkan dalam kondisi tubuh yang ungu terong. Tidak menangis dan tidak bergerak. Namun sedikit bernapas. Sang Bidan memukul bayi itu, berharap suara tangisan mampu menyelamatkannya dari ambang kematian. Jantung sang bayi mulai melemah, ibunya sesenggukan dalam kelelahannya. Bidan masih tak berhenti berusaha.

"Lalu setelah sekian lama, kenapa kisah itu diangkat kembali, apa yang terjadi pada sang bayi?" tanyanya padaku, "apa yang terjadi pada bayi itu?" desaknya.

Bayinya menangis.

"Alhamdulillah," dia bernapas lega.

Tapi sang ibu tiba-tiba merasakan mulas di perutnya. Bidan memeriksa. Ternyata masih ada satu bayi kecil lagi di perut sang ibu. Bidan memberikan bayi ungu terong kepada asistennya dan beralih menolong persalinan kedua. Butuh waktu yang sedikit menegangkan, namun bayi kedua berhasil keluar.
"Apa bayinya ungu terong lagi? Apa bayinya menangis?" dia sangat penasaran.

Bayinya kuning langsat, tapi tidak menangis. Ukurannya lebih kecil dari bayi pertama. Sampai Bidan heran, di bagian perut yang mana bayi itu sembunyi. Sang ibu juga tak menyangka ada dua bayi di perutnya.

"Apa ibunya tidak melakukan rontgen?"

Mungkin maksudmu USG ya ... tidak. Waktu itu sang ibu tak paham dengan istilah macam itu.
Nahas, bayi kedua tak kunjung menangis. Juga ukuran tubuhnya terlalu kecil, detak jantungnya hampir tak terasa. Tak ada alat bantu yang mumpuni. Bidan tak sanggup lagi. Sang Ibu meneteskan butir bening dari sudut matanya. Ia bahagia sekaligus bersedih. Sang bayi ungu terong mendadak menangis dengan keras seperti bayi pada umumnya.

"Apa? Apa yang terjadi dengan bayi kedua?"

Kau bisa baca nisan di depanmu, itulah akhirnya. (PEMAKAMAN 1995)
"Jadi ... kenapa kau mengajakku kemari dan menceritakan ini semua. Kenapa tanggal kematiannya sama dengan tanggal lahirmu?" aku tahu dia terlalu polos dengan pertanyaannya itu.

Apa kau percaya padaku?

"Tidak!"

Hahaha, benar. Tetaplah seperti itu. Aku telah menceritakan semua ini hanya agar kau berani berpikir. Bukan agar kau percaya padaku.

"Apa kau membodohiku?"

Mana berani aku begitu padamu.

"Ya, tidak seharusnya kau melakukannya. Aku telah sangat mengenalmu."

Aku terkejut. Kita bahkan baru berkawan beberapa tahun yang lalu. Apa kau yakin benar-benar mengenalku? Kau bilang aku ini pengarang, tidakkah kau curiga padaku?

"Tidak."

"Aku tidak percaya padamu, sebab kau gemar sekali mempermainkanku. Hingga aku bingung kapan kau berkisah nyata kapan kau berkisah fiksi."

Benar sekali, jangan mudah percaya pada orang lain. Terlebih jika percaya pada dirimu sendiri saja kau belum mampu. Cukup satu yang harus kau ingat tentangku:
Aku adalah apa yang kau kenal dariku, bukan dari orang lain. Jika aku temanmu, maka kau adalah temanku, sampai kapan pun. Seberapa banyak kau atau aku berubah nantinya, kau tetap temanku.
(aku merayunya)

"Baiklah, ayo kita pergi sekarang. Bos sudah menunggu. Ceritakan tentang bayi ungu terong itu kali lain, dan yah satu lagi ... juga tentang kenapa aku bisa menemukanmu di pemakaman ini. Kali lain saja, aku sudah lelah berpikir hari ini."


*Ratna W. Anggraini


Komentar

Posting Komentar

Hai, Kawan. Kamu bisa tinggalkan komentar, bila kamu suka tulisan ini yaaa ... :) Terima kasih sudah membaca.

Postingan populer dari blog ini

Sinopsis Film Pesantren Impian

Cara, Syarat, dan Biaya Perpanjang SIM di SIM Corner Praxis Surabaya (KTP Luar Kota)

Bebas! Buat Resolusi Sesuka Hati