Ketika Stigma Lebih Bahaya dari Corona
Sudah hampir dua bulan kita di rumah saja untuk mengikuti arahan
pemerintah. Wabah corona bukanlah hal remeh temeh, itulah mengapa statusnya
kini pandemi, diwaspadai di seluruh negeri. Kendati demikian, masih saja ada
orang-orang yang meremehkan virus ini. Berdalih kematian di tangan Tuhan,
menerjang aturan yang dibuat oleh pemerintah. Tak peduli himbauan untuk mengisolasi
diri secara mandiri di rumah, meminimalkan kegiatan yang melibatkan perkumpulan
banyak orang. Padahal semakin hari, kabar tentang kasus kematian akibat
corona tak kunjung padam. Justru korban semakin meningkat. Kalau sudah
demikian, orang-orang yang awalnya meremehkan mungkin sedikit terusik. Semoga
kesadaran lekas menghampiri mereka, betapa makhluk kecil yang bahkan tak kasat
mata itu, begitu mematikan.
Berita tentang corona menyebar
begitu cepat seantero negeri. Dengan
adanya media sosial, berita-berita lak lagi bisa dibendung. Ada yang menelan
mentah-mentah apa-apa saja berita yang didengar, ada yang cerdas memilah
berita, ada yang baru tahu kemudian sok tahu tentang segalanya. Lalu beberapa
orang yang ketakutan mendadak egois. Seolah tak lagi peduli dengan saudaranya
yang terkena corona. Terbukti banyak berita di beberapa daerah menyatakan menolak
menerima jenazah positif corona. Padahal tenaga medis yang bertanggung jawab,
tentu saja tak serta merta membiarkan jenazah itu begitu saja. Mereka telah
melakukan sesuai standar yang sudah ditetapkan. Tapi masyarakat yang kurang
teredukasi dengan mudahnya memberikan stigma terhadap korban maupun keluarga
korban. Persepsi negatif masyarakat terhadap korban ataupun keluarga korban
tentu saja sangat mengusik ketenangan.
Cibiran yang menyesakkan, sikap paranoid yang berlebihan, perlakuan tidak
etis terhadap korban maupun keluarga korban, sudah tentu tindakan yang tidak
terpuji. Apalagi di bulan suci Ramadan seperti ini, kita harusnya lebih banyak
berbuat kebaikan. Keluarga yang ditinggalkan, harusnya mendapatkan dukungan
penuh agar mereka tak ikut lemah mentalnya. Lemahnya mental berakibat
menurunnya imunitas tubuh dan akhirnya bisa membuat mereka sakit atau bahkan
mudah terkena virus corona. Semua itu berawal dari omongan tetangga yang tak
berdasar. Kalau sudah begini, stigma masyarakat justru bisa jadi lebih pahit
dari sakit itu sendiri. Banyangkan bila akhirnya mereka yang positif corona
akhirnya tak berani bicara jujur kepada tenaga medis, karena takut terkena
stigma masyarakat. Apa yang akan terjadi? Virus itu akan dengan mudah menyebar
tanpa pencegahan sebelumnya.
Tidak perlu terlalu paranoid terhadap virus corona. Wasapada boleh. Tak
perlu memberikan stigma pada mereka yang menjadi korban. Justru dukungan penuh
harus kita berikan kepada korban agar mereka berjuang dan bertahan melawan
corona. Karena tidak semua yang positif corona langsung meninggal. Banyak juga
mereka yang positif, setelah melakukan karantina dan berbagai pemeriksaan dan pengobatan,
akhirnya kembali sembuh. Percayalah, harapan itu selalu ada. Saat ini,
musuh kita adalah corona. Jangan ubah rasa takut berlebih, kecemasan berlebih,
rumor dan berita hoaks lainnya justru menjadi musuh terbesar kita.
Jauhi penyakitnya, bukan
orangnya. Jangan sampai mengucilkan mereka yang menjadi korban, apalagi sampai
diusir. Bahkan pemeriksaan rapid test
atau swab yang hasilnya positif,
masih harus melalui beberapa pemeriksaan lagi. Orang yang positif pada rapid test belum tentu positif. Tapi
kembali lagi, bisa saja mereka menjadi positif akibat stigma dari masyarakat.
Karena terus kepikiran dan membebani mental, sehingga pertahanan tubuh melemah.
Agar kita tak mudah memberi stigma terhadap korban corona, periksa fakta yang
ada. Edukasi diri mengenai informasi tentang corona, dari cara penyebaran,
pencegahan, penanganan dan lain-lain. Jangan mudah percaya berita yang
sumbernya tidak jelas. Selalu berpikir positif, bahwa meskipun banyak korban
jiwa karena corona, kemungkinan sembuh dari corona juga cukup besar. Dan ingat
satu hal bila akan meberikan stigma, pikirkan “bagaimana bila anti hal tersebut
terjadi pada dirimu dan keluargamu?”
Komentar
Posting Komentar
Hai, Kawan. Kamu bisa tinggalkan komentar, bila kamu suka tulisan ini yaaa ... :) Terima kasih sudah membaca.