Memaknai Estetika Literasi Berkeadaban
Dalam
memaknai literasi berkeadaban, kita meletakkan tujuan hidup terhadap
keberadaban, kecerdasan lahir dan batin. Begitulah yang disampaikan oleh Dr. M.
Irfan Hidayatullah dalam agenda penataran anggota madya Forum Lingkar Pena
(FLP) pada Ahad, 15 Agustus 2021. Beliau menjelaskan bagaimana adab berhubungan
dengan budi pekerti, kehalusan, dan yang meliputi semua itu adalah akhlak. Orang
FLP sudah berkarakter dan beradab. Adab lekat dengan FLP. Sementara karakter sendiri
bisa diperoleh atau dibentuk dalam keluarga, komunitas, tapi kita juga bisa
mengembangkan karakter agar lebih bervariasi, tidak harus selalu kaku. Namun
tetap, adab adalah hal utama.
Peradaban
sendiri memeiliki dua dimensi, secara lahir dan batin. Tak hanya yang terlihat
tapi juga secara ruhiyah. Terdapat hubungan antara adab dan sastra.
Sebab adab berkaitan dengan syariat, sastra, dan juga budaya. Berkarya adalah
adab, berbakti adalah beradab, dan berarti adalah keberadaban. Ini adalah
bagian dari estetika FLP yang harus kita jaga.
FLP
adalah organisasi yang bergerak dalam dakwah Islam, melalui sastra Islam. Dalam
kacamata Islam, yang perlu kita lakukan adalah mengumpulkan keilmuan Islam.
Islam sebagai sastra, menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai landasan. Sastra
Islam bukan berarti gerakan mengislamisasikan segala hal yang kita lakukan,
melainkan menerapkan nilai-nilai Islam dalam sastra. Karena sastra dengan
segala keindahannya ... ya itulah Islam. Nilai-nilai keindahan yang bisa
diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat.
“Anggota
madya bukan lagi objek, tetapi sudah harus siap menjadi subjek, menulis dengan
kesadaran, mengarahkan diskusi dan idealisme dalam sastra sudah harus
diperjuangkan. Tidak melulu tentang teknik menulis, sebab itu hanyalah
cangkang. Tetapi sudah harus bisa bagaimana menerapkan ideologi dalam fiksi
keberadaban. Gunakan seni keadilan dengan menerapkan nilai-nilai islami pada masyarakat,”
begitu pesan yang disampaikan Dr. Irfan dalam sesi akhir materinya.
Kemudian Ustaz Habiburrahman El
Shirazy melanjutkan materi dengan menceritakan kisahnya di tahun 2009, bahwa
beliau pernah ditanya dalam sebuah diskusi, “Bangunan sastra yang bagaimana
yang bagus untuk Indonesia sekian tahun ke depan?”
Kemudian beliau menjawab dengan
tiga hal:
1. Sastra yang mesti menjadi konsumsi Indonesia, yang menggerakkan
sastrawan menulis, adalah sastra yang berketuhanan Yang Maha Esa.
2. Sastra yang layak berkembang di Indonesia adalah sastra yang berkemanusiaan,
yang adil dan beradab.
3. Sastra yang terus merajut persatuan dan kesatuan Indonesia.
Sastra
harus bisa memanusiakan manusia, baru bisa berakar subur di Indonesia. Sastra
juga harus beradab. Makna beradab mau tidak mau harus ditelisik dari akarnya.
Adab berasal dari bahasa Arab. Seperti yang kita tahu bahwa bahasa Indonesia,
bahasa Melayu, banyak menyerap dari bahasa Arab. Dan apabila kita membicarakan bahasa
Arab, maka penjelasan yang paling jelas, dasarnya ya ada di Al-Qur’an dan
Hadis.
Pernah
disampaikan oleh Rasulullah, “Addabani Rabbi fa ahsana ta’dibi”—H.R. Ibnu
Mas’ud dalam al-Jami’ al-Shaqhir—Allah itu mengadabkan diriku dan dengan
demikian menjadilah pendidikanku yang terbaik.
Allah
telah mendidik langsung Rasulullah dengan adab. Kita sepakat bahawa sastra kita
harus beradab dengan esensi nilai-nilai islami, meski kadang dengan membawa
nama Islam membuat beberapa orang khawatir. Namun jangan malu membawa nama
Islam. Adab menjadikan nilai-nilai Islam membumi dan mendarah daging di
masyarakat. Sehingga nilai-nilai Islam itu tidak akan aneh lagi di masyarakat
dan bisa menjadi local wisdom. Prosesnya memang lama.
Dalam
kitab At-Ta’rif bi Adabit Ta’lif karya Imam al-Hafizd Jalaluddin as-Suyuthi,
diterangkan bahwa dalam menulis jangan sampai kita hanya mengulang sebuah
tulisan lain, jangan sampai menyebabkan tulisan kita tidak diperlukan. Kecuali
bila tulisan kita memiliki sisi baru untuk diulas.
Pada
dasarnya tidak ada ide-ide yang murni. Ide kita dapat dari banyak membaca,
banyak mengetahui, banyak riset. Bukan berarti kita tidak bisa menulis ide yang
sama, hanya saja kita perlu mengulasnya dari sisi yang berbeda. Tidak hanya
menjadikan satu buku menjadi acuan dalam menulis, tapi lakukan riset dari
berbagai sumber. Hal itu pun sangat penting agar tulisan kita terhindar dari
pengulasan yang sama atas ide yang sudah pernah dibahas. Tulislah sesuatu yang
berbeda, sekalipun dengan ide yang sama. Inisiatif segar dalam sebuah tulisan
sangatlah penting dan tentu saja bisa disertakan riset-riset yang mendukung.
Selain itu, bisa menulis dengan dahsyat itu karena mengenal dan khatam dengan
bahasa. Bahasa yang utama. Ketika menulis, selain memperhatikan isi, kita juga
harus memperhatikan tentang estetika.
Hal
lain yang diterangkan dalam kitab tersebut yaitu, tidak seharusnya seorang penulis
meninggalkan dua hal ini; yang pertama adalah menciptakan makna dan yang kedua menciptakan
estetika sastra, bangunan keindahan. Apabila dua hal tersebut dihilangkan,
tulisan itu hanya akan sekadar menghitamkan kertas dan termasuk dalam
kemubaziran. Yaitu sebuah karya tanpa makna, tanpa ruh, tanpa kebermanfaatan
bagi pembacanya.
Ilmu
itu harus diikat, maka ikatlah ilmu dengan menulis. Jangan khawatir bila
tulisannya tidak bestseller, tapi khawatirlah bila yang engkau tulis
bukanlah hal-hal yang baik dengan moral yang baik. Sebab tulisan yang bisa
memberikan manfaat bagi pembacalah yang bisa mendatangkan pahala jariyah bagi
penulisnya. Jangan khawatir bila engkau sudah susah payah menulis kebenaran,
namun tidak banyak manusia yang melihat tulisanmu. Sebab tidak ada kebenaran
yang sia-sia. Begitulah kiranya nasihat dari Imam Syafi’i.
Orang
alim dan berilmu, sedahsyat apa pun itu, kalau ia tidak menulis, akan berhenti
ilmunya. Maka menulislah yang bermanfaat, tulislah tentang kebenaran, dan
wariskankanlah ilmu itu. Sebab tulisan yang bermanfaat itu lebih langgeng
daripada lisan yang lebih banyak sia-sianya.
Catatan Penataran
Anggota Madya, 18 Agustus 2021
Komentar
Posting Komentar
Hai, Kawan. Kamu bisa tinggalkan komentar, bila kamu suka tulisan ini yaaa ... :) Terima kasih sudah membaca.